SEJARAH PEREKONOMIAN
INDONESIA PADA MASA PENJAJAHAN HINGGA SAAT INI
Sebelum merdeka,
Indonesia mengalami masa penjajahan yang terbagi dalam beberapa periode. Ada
empat negara yang pernah menduduki Indonesia, yaitu Portugis, Belanda, Inggris,
dan Jepang. Portugis tidak meninggalkan jejak yang mendalam di Indonesia karena
diusir oleh Belanda, tapi Belanda yang kemudian berkuasa selama sekitar 350
tahun, sudah menerapkan berbagai sistem yang masih tersisa hingga kini. Untuk
menganalisa sejarah perekonomian Indonesia pada masa penjajahan, berikut adalah
penjelasannya :
MASA PENDUDUKAN BELANDA
Pada masa
penjajahan,Indonesia menerapkan system perekonomian monopolis. Dimana setiap
kegiatan perekonomian dijalankan sesuai dengan penguasa perdagangan Indonesia
saat itu. VOC adalah lembaga yang menguasai perdagangan Indonesia pada saat
itu, disini VOC menerapkan peraturan dan strategi agar mereka tetap menguasai
perekonomian Indonesia. Peraturan-peraturan yang diterapkan VOC seperti
kewajiban menyerahkan hasil bumi pada VOC dan pajak hasil bumi yang dirancang
untuk mendukung monopoli tersebut. Untuk mempermudah aksinya di Hindia Belanda,
VOC diberi hak Octrooi,antara lain meliputi:
Hak mencetak uang
Hak mengangkat dan memberhentikan
pegawai
Hak menyatakan perang dan damai
Hak untuk membuat angkatan bersenjata sendiri
Hak untuk membuat perjanjian dengan raja-raja
Disamping itu VOC
juga menjaga agar harga rempah-rempah agar tetapa tinggi.antara lain dengan
diadakannya pembatasan jumlah tanaman rempah-rempah. Semua aturan itu pada
umumnya hanya diterapkan di Maluku yang memang sudah diisolasi VOC dari pola
pelayaran niaga samudera Hindia. Dengan monopoli rempah-rempah, diharapkan VOC
akan menambah isi kas negeri Belanda, dan dengan begitu akan meningkatkan pamor
dan kekayaan Belanda. Disamping itu juga diterapkan kewajiban menanam tanaman
kopi bagi penduduk Priangan. Bahkan ekspor kopi di masa itu mencapai 85.300
metrik ton, melebihi ekspor cengkeh yang hanya 1.050 metrik ton. Dan pada tahun
1795, VOC bubar karena dianggap gagal dalam mengeksplorasi kekayaan Hindia
Belanda. Kegagalan itu nampak pada defisitnya kas VOC, yang antara lain
disebabkan oleh :
Peperangan yang terus-menerus dilakukan oleh
VOC dan memakan biaya besar,terutama perang Diponegoro.
Penggunaan tentara sewaan memebutuhkan biaya
besar
Korupsi yang dilakukan pegawai VOC sendiri
Pembagian deviden kepada para pemegang saham,
walaupun kas defisit.
MASA
PENDUDUKAN INGGRIS (1811-1816)
Inggris berusaha merubah pola pajak hasil
bumi yang telah hampir dua abad diterapkan oleh Belanda, dengan menerapkan
Landrent (pajak tanah). Sistem ini sudah berhasil di India, dan Thomas Stamford
Raffles mengira sistem ini akan berhasil juga di Hindia Belanda. Selain itu,
dengan menggunakan pajak tanah, maka penduduk pribumi akan memiliki uang untuk
membeli barang produk Inggris atau yang diimpor dari India. Inilah imperialisme
modern yang menjadikan tanah jajahan tidak sekedar untuk dieksplorasi kekayaan
alamnya, tapi juga menjadi daerah pemasaran produk dari negara penjajah. Akan
tetapi, perubahan yang cukup mendasar dalam perekonomian ini sulit dilakukan,
dan bahkan mengalami kegagalan di akhir kekuasaan Inggris yang Cuma seumur
jagung di Hindia Belanda. Sebab-sebabnya antara lain :
Masyarakat Hindia Belanda pada umumnya buta
huruf dan kurang mengenal uang
Pegawai pengukur tanah dari inggris sendiri
jumlahnya terlalu sedikit.
Kebijakan ini kurang didukung raja-raja dan
para bangsawan, karena inggris tak mampu mengakui suksesi jabatan secara turun
temurun.
MASA
CULTUURSTELSEL (SISTEM TANAM PAKSA)
Cultuurstelstel (sistem tanam paksa) mulai
diberlakukan pada tahun 1836 atas inisiatif Van Den Bosch. Yang bertujuan untuk
memproduksi berbagai komoditi yang permintaannya ada di pasaran dunia.
Sejak saat itu, diperintahkan pembudidayaan produk-produk selain kopi dan
rempah-rempah, yaitu gula, nila, tembakau, teh, kina, karet dan
kelapa sawit. Sistem ini jelas menekan penduduk pribumi, akan tetapi
sangant menguntungkan bagi Belanda, apalagi dipadukan dengan sistem
konsinyasi (monopoli ekspor). Setelah penerapan kedua sistem ini, seluruh
kerugian akibat perang dengan Napoleon di Belanda langsung tergantikan berkali
lipat. Sistem ini merupakan pengganti sistem landrent (pajak tanah) dalam
rangka memperkenalkan penggunaan uang pada masyarakat pribumi. Masyarakat
diwajibkan menanam tanaman komoditas ekspor dan menjual hasilnya ke
gudang-gudang pemerintah untuk kemudian dibayar dengan harga yang sudah
ditentukan oleh pemerintah. Bagi masyarakat pribumi, sudah tentu cultuur
stelstel sangat memeras keringat dan darah mereka, apalagi aturan kerja rodipun
masih diberlakukan. Namun segi positifnya adalah, mereka mulai mengenal tata
cara menanam tanaman komoditas ekspor yang pada umumnya bukan tanaman asli
Indonesia, dan masuknya ekonomi uang di pedesaan yang memicu meningkatnya taraf
hidup mereka.
Dengan menerapkan cultuur stelstel,
pemerintah Belanda membuktikan teori sewa tanah dari mazhab klasik, yaitu bahwa
sewa tanah timbul dari keterbatasan kesuburan tanah. Namun disini, pemerintah
Belanda hanya menerima sewanya saja, tanpa perlu mengeluarkan biaya untuk
menggarap tanah yang kian lama kian besar.
SISTEM
EKONOMI PINTU TERBUKA (LIBERAL)
Dengan adanya dorongan dari kaum humanis
belanda yang menginginkan perubahan nasib warga pribumi ke arah yang lebih
baik, mendorong pemerintah Hindia Belanda untuk mengubah kebijakan ekonominya.
Maka dibuatlah peraturan-peraturan agraria yang baru, yang antara lain
mengatur tentang penyewaan tanah pada pihak swasta untuk jangka 75 tahun, dan
aturan tentang tanah yang boleh disewakan dan yang tidak boleh. Hal ini
nampaknya juga masih tak lepas dari teori-teori mazhab klasik, antara lain
terlihat pada :
Keberadaan pemerintah Hindia Belanda sebagai
tuan tanah, pihak swasta yang mengelola perkebunan swasta sebagai golongan
kapitalis, dan masyarakat pribumi sebagai buruh penggarap tanah.
Prinsip keuntungan absolut : Bila di suatu
tempat harga barang berada diatas ongkos tenaga kerja yang dibutuhkan, maka
pengusaha memperoleh laba yang besar dan mendorong mengalirnya faktor produksi
ke tempat tersebut.
Laissez faire laissez passer, perekonomian
diserahkan pada pihak swasta, walau jelas, pemerintah Belanda masih memegang
peran yang besar sebagai penjajah yang sesungguhnya.
Pada akhirnya, sistem ini bukannya meningkatkan kesejahteraan masyarakat pribumi, tapi malah menambah penderitaan, terutama bagi para kuli kontrak yang pada umumnya tidak diperlakukan layak.
Pada akhirnya, sistem ini bukannya meningkatkan kesejahteraan masyarakat pribumi, tapi malah menambah penderitaan, terutama bagi para kuli kontrak yang pada umumnya tidak diperlakukan layak.
MASA
PENDUDUKAN JEPANG (1942-1945)
Pemerintah militer Jepang menerapkan suatu
kebijakan pengerahan sumber daya ekonomi mendukung gerak maju pasukan Jepang
dalam perang Pasifik. Sebagai akibatnya, terjadi perombakan besar-besaran dalam
struktur ekonomi masyarakat. Kesejahteraan rakyat merosot tajam dan terjadi
bencana kekurangan pangan, karena produksi bahan makanan untuk memasok pasukan
militer dan produksi minyak jarak untuk pelumas pesawat tempur menempati
prioritas utama. Impor dan ekspor macet, sehingga terjadi kelangkaan tekstil
yang sebelumnya didapat dengan jalan impor. Segala hal diatur oleh pusat guna
mencapai kesejahteraan bersama yang diharapkan akan tercapai seusai memenangkan
perang Pasifik.
PEREKONOMIAN
INDONESIA MASA ORDE LAMA (1945 – 1966)
Pada awal kemerdekaan, pembangunan ekonomi
Indonesia mengarah perubahan struktur ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional,
yang bertujuan untuk memajukan industri kecil untuk memproduksi barang
pengganti impor yang pada akhirnya diharapkan mengurangi tingkat ketergantungan
luar negeri. Sistem moneter tentang perbankan khususnya bank sentral masih
berjalan seperti wajarnya. Hal ini dibuktikan dengan adanya hak ekslusif untuk
mencetak uang dan memegang tanggung jawab perbankan untuk memelihara stabilitas
nasional. Bank Indonesia mampu menjaga tingkat kebebasan dari pengambilan
keputusan politik.
Masa orde lama dimulai dari tanggal 17
Agustus 1945 saat Indonesia merdeka. Pada saat itu, keadaan ekonomi Indonesia
mengalami kegiatan produksi terhenti pada tingkat inflasi yang tinggi.
Indonesia pernah mengalami sistem politik yang demokratis yakni pada
periode 1949 sampai 1956. Pada tahun tersebut, terjadi
konflik politik yang berkepanjangan dimana rata-rata umur kabinet
hanya dua tahun sehingga pemerintah yang berkuasa tidak fokus memikirkan
masalah-masalah sosial dan ekonomi yangterjadi pada saat itu. Selama periode
1950an struktur ekonomi Indonesia masih peninggalan jaman kolonial,
struktur ini disebut dual society dimana struktur dualisme
menerapkandiskriminasi dalam setiap kebijakannya baik yang langsung maupun
tidak langsung. Keadaan ekonomi Indonesia menjadi bertambah buruk dibandingkan
pada masa penjajahan Belanda. Sejak tahun 1955, pembangunan ekonomi mulai
meramba ke proyek-proyek besar. Hal ini dikuatkan dengan keluarnya kebijakan
Rencana Pembangunan Semesta Delapan Tahun (1961). Kebijakan ini berisi rencana
pendirian proyek-proyek besar dan beberapa proyek kecil untuk mendukung proyek
besar tersebut. Rencana ini mencakup sektor-sektor penting dan menggunakan
perhitungan modern. Namun sayangnya Rencana Pembangunan Semesta Delapan Tahun
ini tidak berjalan atau dapat dikatakan gagal karena beberapa sebab seperti
adanya kekurangan devisa untuk menyuplai modal serta kurangnya tenaga ahli.
Perekonomian Indonesia pada masa ini mengalami penurunan atau memburuk.
Terjadinya pengeluaran besar-besaran yang bukan ditujukan untuk pembangunan dan
pertumnbuhan ekonomi melainkan berupa pengeluaran militer untuk biaya
konfrontasi Irian Barat, Impor beras, proyek mercusuar, dan dana bebas (dana
revolusi) untuk membalas jasa teman-teman dekat dari rezim yang berkuasa.
Selain itu Indonesia mulai dikucilkan dalam pergaulan internasional dan mulai
dekat dengan negara-negara komunis. Untuk lebih jelas nya berikut ini adalah
penjelasan terperinci nya.
MASA
PASCA KEMERDEKAAN (1945-1950)
Pada masa awal kemerdekaan, keadaan ekonomi
Indonesia sangat buruk, yang antara lain disebabkan oleh : – Inflasi yang
sangat tinggi, hal ini disebabkan karena beredarnya lebih dari satu mata uang
secara tidak terkendali. Pada waktu itu, untuk sementara waktu pemerintah RI
menyatakan tiga mata uang yang berlaku di wilayah RI, yaitu mata uang De
Javashe Bank, mata uang pemerintah Hindia Belanda, dan mata uang pendudukan
Jepang. Pada tanggal 6 Maret 1946, Panglima AFNEI (Allied Forces for
Netherlands East Indies/pasukan sekutu) mengumumkan berlakunya uang NICA di daerah-daerah
yang dikuasai sekutu. Pada bulan Oktober 1946, pemerintah RI juga mengeluarkan
uang kertas baru, yaitu ORI (Oeang Republik Indonesia) sebagai pengganti uang
Jepang. Berdasarkan teori moneter, banyaknya jumlah uang yang beredar
mempengaruhi kenaikan tingkat harga.
Adanya blockade ekonomi oleh Belanda sejak
bulan November 1945 untuk menutup pintu perdagangan luar negeri RI.
Kas Negara kosong
Eksploitasi besar-besaran di masa penjajahan
Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi
kesulitan ekonomi,antara lain :
Program Pinjaman Nasional dilaksanakan oleh
menteri keuangan IR. Surachman pada bulan Juli 1946.
Upaya menembus blockade dengan diplomasi
beras ke, mengadakan kontak dengan perusahaan swasta Amerika, dan menembus
blockade Belanda di Sumatera dengan tujuan ke Singapura dan Malaysia.
Konferensi Ekonomi Februari 1946 dengan
tujuan untuk memperoleh kesepakatan yang bulat dalam menanggulangi
masalah-masalah ekonomi yang mendesak, yaitu : masalah produksi dan distribusi
makanan, masalah sandang, serta status dan administrasi perkebunan-perkebunan.
Pembentukan Planning Board (Badan Perancang
Ekonomi) 19 Januari 1947
Rekonstruksi dan Rasionalisasi Angkatan Perang (Rera) 1948, mengalihkan tenaga bekas angkatan perang ke bidang-bidang produktif.
Rekonstruksi dan Rasionalisasi Angkatan Perang (Rera) 1948, mengalihkan tenaga bekas angkatan perang ke bidang-bidang produktif.
Kasimo Plan yang intinya mengenai usaha
swasembada pangan dengan beberapa petunjuk pelaksanaan yang praktis. Dengan
swasembada pangan, diharapkan perekonomian akan membaik (mengikuti Mazhab
Fisiokrat : sektor pertanian merupakan sumber kekayaan).
MASA DEMOKRASI LIBERAL (1950 – 1957)
Permasalah ekonomi yang dihadai oleh bangsa
Indonesia masih sama seperti sebelumnya. Usaha-usaha yang dilakukan untuk
mengatasi masalah ekonomi, antara lain :
Program Benteng (Kabinet Natsir), yaitu upaya
menumbuhkan wiraswastawan pribumi dan mendorong importir nasional agar bisa
bersaing dengan perusahaan impor asing dengan membatasi impor barang tertentu
dan memberikan lisensi impornya hanya pada importir pribumi serta memberikan
kredit pada perusahaan-perusahaan pribumi agar nantinya dapat berpartisipasi
dalam perkembangan ekonomi nasional. Namun usaha ini gagal, karena sifat
pengusaha pribumi yang cenderung konsumtif dan tak bisa bersaing dengan
pengusaha non-pribumi. Pada kabinet ini untuk pertama kalinya terumuskan suatu
perencanaan pembangunan yang disebut Rencana Urgensi Perekonomian (RUP).
Nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia pada 15 Desember 1951
lewat UU No. 24 th 1951 dengan fungsi sebagai bank sentral dan bank sirkulasi.
Sistem ekonomi Ali (kabinet Ali Sastroamijoyo
I) yang diprakarsai Mr Iskak Cokrohadisuryo, yaitu penggalangan kerjasama
antara pengusaha Cina dan pengusaha pribumi. Pengusaha non-pribumi diwajibkan
memberikan latihan-latihan pada pengusaha pribumi, dan pemerintah menyediakan
kredit dan lisensi bagi usaha-usaha swasta nasional. Program ini tidak berjalan
dengan baik, karena pengusaha pribumi kurang berpengalaman, sehingga hanya
dijadikan alat untuk mendapatkan bantuan kredit dari pemerintah.
Pembatalan sepihak atas hasil-hasil
Konferensi Meja Bundar, termasuk pembubaran Uni Indonesia-Belanda. Akibatnya
banyak pengusaha Belanda yang menjual perusahaannya sedangkan
pengusaha-pengusaha pribumi belum bisa mengambil alih perusahaan-perusahaan
tersebut.
MASA
DEMOKRASI TERPIMPIN (1959-1967)
Sebagai akibat dari dekrit presiden 5 Juli
1959, maka Indonesia menjalankan sistem demokrasi terpimpin dan struktur
ekonomi Indonesia menjurus pada sistem etatisme (segala-galanya diatur oleh
pemerintah). Dengan sistem ini, diharapkan akan membawa pada kemakmuran bersama
dan persamaan dalam sosial, politik,dan ekonomi. Akan tetapi,
kebijakan-kebijakan ekonomi yang diambil pemerintah di masa ini belum mampu
memperbaiki keadaan ekonomi Indonesia, antara lain :
Devaluasi yang diumumkan pada 25 Agustus 1959
menurunkan nilai uang sebagai berikut : Uang kertas pecahan Rp 500 menjadi Rp
50, uang kertas pecahan Rp 1000 menjadi Rp 100, dan semua simpanan di bank yang
melebihi 25.000 dibekukan.
Pembentukan Deklarasi Ekonomi (Dekon) untuk
mencapai tahap ekonomi sosialis Indonesia dengan cara terpimpin. Dalam
pelaksanaannya justru mengakibatkan stagnasi bagi perekonomian Indonesia.
Bahkan pada 1961-1962 harga barang-baranga naik 400%.
Devaluasi yang dilakukan pada 13 Desember
1965 menjadikan uang senilai Rp 1000 menjadi Rp 1. Sehingga uang rupiah baru
mestinya dihargai 1000 kali lipat uang rupiah lama, tapi di masyarakat uang
rupiah baru hanya dihargai 10 kali lipat lebih tinggi. Maka tindakan pemerintah
untuk menekan angka inflasi ini malah meningkatkan angka inflasi.
MASA
ORDE BARU (1966-1997)
Pada awal orde baru, stabilisasi ekonomi dan
stabilisasi politik menjadi prioritas utama. Program pemerintah berorientasi
pada usaha pengendalian inflasi, penyelamatan keuangan negara dan pengamanan
kebutuhan pokok rakyat. Pengendalian inflasi mutlak dibutuhkan, karena pada
awal 1966 tingkat inflasi kurang lebih 650 % per tahun.
Setelah melihat pengalaman masa lalu, dimana dalam sistem ekonomi liberal ternyata pengusaha pribumi kalah bersaing dengan pengusaha nonpribumi dan sistem etatisme tidak memperbaiki keadaan, maka dipilihlah sistem ekonomi campuran dalam kerangka sistem ekonomi demokrasi pancasila. Ini merupakan praktek dari salahsatu teori Keynes tentang campur tangan pemerintah dalam perekonomian secara terbatas. Jadi, dalam kondisi-kondisi dan masalah-masalah tertentu, pasar tidak dibiarkan menentukan sendiri. Misalnya dalam penentuan UMR dan perluasan kesempatan kerja. Ini adalah awal era Keynes di Indonesia. Kebijakan-kebijakan pemerintah mulai berkiblat pada teori-teori Keynesian. Kebijakan ekonominya diarahkan pada pembangunan di segala bidang, tercermin dalam 8 jalur pemerataan : kebutuhan pokok, pendidikan dan kesehatan, pembagian pendapatan, kesempatan kerja, kesempatan berusaha, partisipasi wanita dan generasi muda, penyebaran pembangunan, dan peradilan. Maka sejak tahun 1969, Indonesia dapat memulai membentuk rancangan pembangunan yang disebut Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA). Berikut penjelasan singkat tentang beberapa REPELITA:
Setelah melihat pengalaman masa lalu, dimana dalam sistem ekonomi liberal ternyata pengusaha pribumi kalah bersaing dengan pengusaha nonpribumi dan sistem etatisme tidak memperbaiki keadaan, maka dipilihlah sistem ekonomi campuran dalam kerangka sistem ekonomi demokrasi pancasila. Ini merupakan praktek dari salahsatu teori Keynes tentang campur tangan pemerintah dalam perekonomian secara terbatas. Jadi, dalam kondisi-kondisi dan masalah-masalah tertentu, pasar tidak dibiarkan menentukan sendiri. Misalnya dalam penentuan UMR dan perluasan kesempatan kerja. Ini adalah awal era Keynes di Indonesia. Kebijakan-kebijakan pemerintah mulai berkiblat pada teori-teori Keynesian. Kebijakan ekonominya diarahkan pada pembangunan di segala bidang, tercermin dalam 8 jalur pemerataan : kebutuhan pokok, pendidikan dan kesehatan, pembagian pendapatan, kesempatan kerja, kesempatan berusaha, partisipasi wanita dan generasi muda, penyebaran pembangunan, dan peradilan. Maka sejak tahun 1969, Indonesia dapat memulai membentuk rancangan pembangunan yang disebut Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA). Berikut penjelasan singkat tentang beberapa REPELITA:
REPELITA I (1967-1974)
Mulai berlaku sejak tanggal 1april 1969.
Tujuan yang ingin dicapai adalah pertumbuhan ekonomi 5% per tahun dengan
sasaran yang diutamakan adalah cukup pangan, cukup sandang, perbaikan prasarana
terutama untuk menunjang pertanian. Tentunya akan diikuti oleh adanya perluasan
lapangan kerja dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
REPALITA II (1974-1979)
Target pertumbuhan ekonomi adalah sebesar
7,5% per tahun. Prioritas utamanya adalah sektor pertanian yang merupakan dasar
untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri dan merupakan dasar tumbuhnya
industri yang mengolah bahan mentah menjadi bahan baku.
REPALITA III (1979-1984)
Prioritas tetaap pada pembangunan ekonomi
yang dititikberatkan pada sector pertanian menuju swasembada pangan, serta
peningkatan industri yang mengolah bahan baku menjadi bahan jadi.
REPALITA IV (1984-1989)
Adalah peningkatan dari REPELITA III.
Peningkatan usaha-usaha untuk memperbaiki kesejahteraan rakyat, mendorong
pembagian pendapatan yang lebih adil dan merata, memperluas kesempatan kerja.
Priorotasnya untuk melanjutkan usaha memantapkan swasembada pangan dan
meningkatkan industri yang dapat menghasilkan mesin-mesin industri sendiri.
Jika ditarik kesimpulan maka pembangunan
ekonomi menurut REPELITA adalah mengacu pada sektor pertanian menuju swasembada
pangan yang diikuti pertumbuhan industri bertahap.
Kelebihan Pada Masa Orde Baru :
Perkembangan GDP per kapita Indonesia yang
pada tahun 1968 hanya AS$70 dan pada 1996 telah mencapai lebih dari AS$1.000.
Sukses transmigrasi.
Sukses KB.
Sukses memerangi buta huruf.
Sukses swasembada pangan.
Pengangguran minimum.
Sukses REPELITA (Rencana Pembangunan Lima
Tahun).
Sukses Gerakan Wajib Belajar.
Sukses Gerakan Nasional Orang-Tua Asuh.
Sukses keamanan dalam negeri.
Investor asing mau menanamkan modal di Indonesia.
Sukses menumbuhkan rasa nasionalisme dan
cinta produk dalam negeri.
Kekurangan Orde Baru :
Semaraknya korupsi, kolusi, nepotisme.
Pembangunan Indonesia yang tidak merata dan
timbulnya kesenjangan pembangunan antara pusat dan daerah, sebagian disebabkan
karena kekayaan daerah sebagian besar disedot ke
pusat.
Munculnya rasa ketidakpuasan di sejumlah
daerah karena kesenjangan pembangunan, terutama di Aceh dan Papua.
Kecemburuan antara penduduk setempat dengan
para transmigran yang memperoleh tunjangan pemerintah yang cukup besar
pada tahun-tahun pertamanya.
Bertambahnya kesenjangan sosial (perbedaan
pendapatan yang tidak merata bagi si kaya dan si miskin).
Kritik dibungkam dan oposisi
diharamkan.
Kebebasan pers sangat terbatas, diwarnai oleh
banyak koran dan majalah yang dibreidel.
MASA
REFORMASI
Pemerintahan reformasi diawali pada tahun
1998. Peristiwa ini dipelopori oleh ribuan mahasiswa yang berdemo menuntut
presiden Soeharto untuk turun dari jabatannya dikarenakan pemerintahan Bapak
Soerhato dianggap telah banyak merugikan Negara dan banyak yang melakukan
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Tahun 1998 merupakan tahun terberat bagi
pembangunan ekonomi di Indonesia sebagai akibat krisis moneter di Asia yang
dampaknya sangat terasa di Indonesia. Nilai rupiah yang semula 1 US$ senilai
Rp. 2.000,- menjadi sekitar Rp. 10.000,- bahkan mencapai Rp. 12.000,- (5 kali
lipat penurunan nilai rupiah terhadap dolar). Artinya, nilai Rp. 1.000.000,-
sebelum tahun 1998 senilai dengan 500 US$ namun setelah tahun 1998 menjadi
hanya 100 US$. Hutang Negara Indonesia yang jatuh tempo saat itu dan harus
dibayar dalam bentuk dolar, membengkak menjadi lima kali lipatnya karena uang
yang dimiliki berbentuk rupiah dan harus dibayar dalam bentuk dolar Amerika.
Ditambah lagi dengan hutang swasta yang kemudian harus dibayar Negara Indonesia
sebagai syarat untuk mendapat pinjaman dari International Monetary Fund (IMF).
Tercatat hutang Indonesia membengkak menjadi US$ 70,9 milyar (US$20 milyar
adalah hutang komersial swasta). Pemerintahan reformasi dari tahun 1998 sampai
sekarang sudah mengalami beberapa pergantian presiden, antara lain yaitu :
Bapak B.J Habibie (21 Mei 1998 – 20 Oktober
1999)
Sejak krisis moneter yang melanda Indonesia
pada pertengahan tahgun 1997, perusahaan perusahaan swasta mengalami kerugaian
yang tidak sedikit, bahkan pihak perusahaan mengalami kesulitan memenuhi
kewajibannya untuk membayar gaji dan upah pekerjanya. Keadaan seperti ini
menjadi masalah yang cukup berat karena disatu sisi perusahaan mengalami
kerugaian yang cukup besar dan disisi lain para pekerja menuntut kenaikan gaji.
Tuntutan para pekerja untuk menaikkan gaji sangat sulit dipenuhi oleh pihak
perusahaan, akhirnya banyak perusahaan yang mengambil tindakan untuk mengurangi
tenaga kerja dan terjadilah PHK. Kondisi perekonomian semakin memburuk, karena
pada akhir tahun 1997 persedian sembilan bahan pokok sembako di pasaran mulai
menipis. Hal ini menyebabkan harga-harga barang naik tidak terkendali.
Kelaparan dan kekurangan makanan mulai melanda masyarakat. Ini adalah kesalahan
Pemerintah Orde Baru yang mempunyai tujuan menjadikan Negara Republik Indonesia
sebagai negara industri, namun tidak mempertimbangkan kondisi riil di
Masyarakat Indonesia yang merupakan sebuah masyarakat agrasis dan tingkat
pendidikan yang tergolong masih rendah. Pada tanggal 22 Mei 1998, Presiden
Republik Indonesia yang ketiga B.J. Habibie membentuk kabinet baru yang
dinamakan Kabinet Reformasi Pembangunan. Kabinet itu terdiri atas 16 orang
menteri, dan para menteri itu diambil dari unsur-unsur militer (ABRI), Golkar,
PPP, dan PDI.
Langkah pertama yang dilakukan BJ Habibie
dalam mengatasi krisis ekonomi Indonesia antara lain mendapatkan kembali
dukungan dari Dana Moneter Internasional (IMF) dan komunitas negara-negara
donor untuk program pemulihan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi mulai positif pada
Triwulan I dan II tahun 1999. Hal ini menunjukkan bahwa perekonomian Indonesia
mengalami pemulihan. Untuk mewadahi reformasi ekonomi telah diberlakukan
beberapa Undang-Undang yang mendukung persaingan sehat, seperti UU Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan usaha tidak sehat dan UU Perlindungan Konsumen.
Praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku
usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang
dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persai ngan usaha tidak sehat dan
dapat merugikan kepentingan umum. Sedangkan Persaingan usaha tidak sehat adalah
persaingan antarpelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau
pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau
melawan hukum atau menghambat persaingan usaha. Dan semuanya berdasarkan kepada
asas Demokrasi Ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku
usaha dan kepentingan umum. Serta untuk mecapai tujuan menjaga kepentingan umum
dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat, mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui
pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian
kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah,
dan pelaku usaha kecil.
Pengembangan ekonomi kerakyatan yang dalam
rangka memberdayakan masyarakat, meningkatkan kesejahteraan dan memperkuat
ketahanan ekonomi sosial penekanannya adalah pada usaha kecil, menengah dan
koperasi menjadi salah satu perhatian utama. Nilai tukar rupiah terjun bebas
dari Rp 2.000 per dolar AS menjadi Rp 12.000-an per dolar pada awal terjadinya
krisis moneter dan utang luar negeri yang jatuh tempo sehinga membengkak akibat
depresiasi (penyusutan) rupiah. Hal ini diperbarah oleh perbankan swasta yang
mengalami kesulitan likuiditas. Inflasi meroket diatas 50%, dan pengangguran
mulai terjadi dimana-mana. Ada beberapa hal yang dilakukan oleh pemerintahan
Habibie untuk memperbaiki perekonomian Indonesia antaranya :
1. Merekapitulasi perbankan dan menerapkan
independensi Bank Indonesia agar lebih fokus mengurusi perekonomian.
2. Melikuidasi beberapa bank bermasalah.
3. Menaikan nilai tukar rupiah
4. Mengimplementasikan reformasi ekonomi yang
diisyaratkan oleh IMF.
Pada tanggal 15 januari 1998 (masih orde baru
) Indonesia telah menandatangani 50 butir kesepakatan (letter of intent atau
Lol) dengan IMF. Salah satunya adalah memberikan bantuan (pinjaman) kepada
bank-bank yang mengalami masalah likuiditas. Skema ini dilakukan berdasarkan
perjanjian Indonesia dengan IMF dalam mengatasi masalah krisis. Pemberian
Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) merupakan konsekuensi diterbitkannya
kebijakan pemerintah yang tertuang dalam KepresNo.26/1998 dan
Kepres No.55/1998. Keppres itu terbit setelah sebelumnya didahului
munculnya Surat Gubernur BI (Soedradjad Djiwandono, ketika itu) tertanggal 26
Desember 1997 kepada Presiden dan disetujui oleh Presiden Soeharto sesuai surat
Mensesneg No.R 183/M.sesneg/12/19997. Atas dasar hukum itulah Bank Indonesia
melaksanakan penyaluran BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) kepada
perbankan nasional. Total BLBI yang dikucurkan hingga program penyehatan
perbankan nasional selesai mencapai Rp144,5 triliun, dana itu tersalur ke 48
bank. Pada tahun 1999 di zaman Presiden BJ Habibie sebanyak 48 Bankir penerima
BLBI melakukan penyelesaiaan settlement aset atas BLBI yang diterimanya melalui
berbagai macam perjanjian dengan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN)
yang terdiri dari lima bankir mengikat perjanjian dengan skema Master of
Settlement Acquisition Agreement (MSAA) dimana nilai aset yang diserahkan
kepada pemerintah sama dengan total hutang BLBI yakni sebesar Rp89,2 triliun,
tiga bankir menyelesaikan utang dengan mengikat perjanjian Master of
Refinancing and Notes Issuence Agreement (MRNIA) dimana nilai aset lebih kecil
dibandingkan hutang BLBI yang diterima sehingga harus ditambah personal
guarantee dengan total utang BLBI sebesar Rp22,7 triliun.Selain itu terdapat 25
bankir mengikat perjanjian penyelesaian hutang melalui skema Akte Pengakuan
Utang (APU) sebesar Rp20.8 triliun, sementara 15 bankir semua asetnya langsung
ditangani oleh Bank Indonesia yang sampai hari ini belum jelas pertanggung
jawabannya sebesar Rp11,8 triliun. Jadi untuk MSAA dan MRNIA saja sudah 77 %
mewakili penyelesaain BLBI. Khusus untuk perjanjian APU tidak semua
menandatanganinnya di era Presiden Habibie, sebagian di era Presiden Abdurahman
‘Gusdur’ Wahid, sebagian lagi dimasa Presiden Megawati. Sementara sebagian yang
tidak kooperatif dan diserahkan kepolisi pada masa pemerintahan Megawati
jumlahnya delapan orang, diantarannya Atang Latief (Bank Bira), James Januardy
(Bank Namura), Ulung Bursa (Lautan Berlian).
Beberapa keberhasilan ekonomi di era Habibie
sebenarnya tidak lepas dari usaha kerja keras para kabinetnya yang reformis.
Namun, perlu disadari bahwa Habibie bukanlah presiden yang benar-benar reformis
dalam menolak kebijakan ekonomi ala IMF. Dengan keterbatasannya, beliau
terpaksa menjalani 50 butir kesepakatan (LoI) antara pemerintah Indonesia
dengan IMF, sehingga penangganan krisis ekonomi di Indonesia pada hakikatnya
lebih pada penyembuhan dengan “obat generik”, bukan penyembuhan ekonomi
“terapis” ataupun “obat tradisional”. Sehingga ketika meninggalkan tampuk
kekuasaan, Indonesia masih rapuh. Disisi lain, Habibie masih sangat mempercayai
tokoh-tokoh Orde baru duduk di kabinetnya, padahal masyarakat menuntut
reformasi. Dan tampaknya, Habibie memang menempatkan dirinya sebagai Presiden
Transisi, bukan Presiden yang Reformis.
Pembangunan Indonesia pada masa orde baru
yang tidak merata dan timbulnya kesenjangan pembangunan antara pusat dan
daerah, sebagian disebabkan karena kekayaan daerah sebagian besar disedot ke
pusat dapat membawa negeri ini ke arah disintergrasi bangsa. Namun UU Otonomi
Daerah yang dilahirkan pada masa pemerintahan Habibie berhasil memberikan
landasan yang kokoh bagi Indonesia untuk tidak terjerumus kedalam nasib yang
sama seperti Negara Yugoslavia dan Uni Soviet. Otonomi Daerah adalah hak,
wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya
sendiri sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Pemerintahan Habibie
yang memerintah setelah jatuhnya rezim Suharto harus menghadapi tantangan untuk
mempertahankan integritas nasional dan dihadapkan pada beberapa pilihan yaitu :
1. mengurangi peran pemerintah pusat dan
memberikan otonomi kepada daerah
2. pembentukan negara federal; atau
3. membuat pemerintah provinsi sebagai agen
murni pemerintah pusat.
Pada masa ini, pemerintahan Habibie
memberlakukan dasar hukum desentralisasi yang baru untuk menggantikan
Undang-Undang No. 5 Tahun 1974, yaitu dengan memberlakukan Undang-Undang No. 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999
tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Bapak Abdurrahman Wahid (20 Oktober 1999 – 23
Juli 2001)
Dalam hal ekonomi, dibandingkan tahun sebelumnya,
pada tahun 1999 kondisi perekonomian Indonesia mulai menunjukkan adanya
perbaikan. Laju pertumbuhan PDB mulai positif walaupun tidak jauh dari 0% dan
pada tahun 2000 proses pemulihan perekonomian Indonesia jauh lebih baik lagi
dengan laju pertumbuhan hampir mencapai 5%. Selain pertumbuhan PDB, laju
inflasi dan tingkat suku bunga (SBI) juga rendah yang mencerminkan bahwa
kondisi moneter di dalam negeri sudah mulai stabil.
Akan tetapi, ketenangan masyarakat setelah
terpilihnya Presiden Indonesia keempat tidak berlangsung lama. Presiden mulai
menunjukkan sikap dan mengeluarkan ucapan-ucapan kontroversial yang
membingungkan pelaku-pelaku bisnis. Presiden cenderung bersikap diktator dan
praktek KKN di lingkungannya semakin intensif, bukannya semakin berkurang yang
merupakan salah satu tujuan dari gerakan reformasi. Ini berarti bahwa walaupun
namanya pemerintahan reformasi, tetapi tetap tidak berbeda denga rezim orde
baru. Sikap presiden tersebut juga menimbulkan perseteruan dengan Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) yang klimaksnya adalah dikelurakannya peringatan resmi
kepada Presiden lewat Memorandum I dan II. Dengan dikeluarkannya Memorandum II,
Presiden terancam akan diturunkan dari jabatannya jika usulan percepatan Sidang
Istomewa MPR jadi dilaksanakan pada bulan Agustus 2001.
Selama pemerintahan reformasi, praktis tidak
ada satu pun masalah di dalam negeri yang dapat terselesaikan dengan baik.
Berbagai kerusuhan sosial yang bernuansa disintegrasi dan sara terus berlanjut,
misalnya pemberontakan Aceh, konflik Maluku, dan pertikaian etnis di Kalimantan
Tengah. Belum lagi demonstrasi buruh semakin gencar yang mencerminkan semakin
tidak puasnya mereka terhadap kondisi perekonomian di dalam negeri, juga
pertikaian elite politik semakin besar.
Selain itu, hubungan pemerintah Indonesia
dibawah pimpinan Abdurrahman Wahid dengan IMF juga tidak baik, terutama karena
masalah amandemen UU No. 23 tahun 1999 mengenai Bank Indonesia; penerapan
otonomi daerah, terutama menyangkut kebebasan daerah untuk pinjam uang dari
luar negeri; dan revisi APBN 2001 yang terus tertunda pelaksanaannya. Tidak
tuntasnya revisi tersebut mengakibatkan IMF menunda pencairan bantuannya kepada
pemerintah Indonesia, padahal roda perekonomian nasional saat ini sangat
tergantung pada bantuan IMF. Selain itu, Indonesia terancam dinyatakan bangkrut
oleh Paris Club (negara-negara donor) karena sudah kelihatan jelas bahwa
Indonesia dengan kondisi perekonomiannya yang semakin buruk dan defisit
keuangan pemerintah yang terus membengkak, tidak mungkin mampu membayar kembali
utangnya yang sebagian besar akan jatuh tempo tahun 2002 mendatang. Bahkan,
Bank Dunia juga sempat mengancam akan menghentikan pinjaman baru jika
kesepakatan IMF dengan pemerintah Indonesia macet.
Ketidakstabilan politik dan social yang tidak
semakin surut selama pemerintahan Abdurrahman Wahid menaikkan tingkat country
risk Indonesia. Ditambah lagi dengan memburuknya hubungan antara pemerintah
Indonesia dan IMF. Hal ini membuat pelaku-pelaku bisnis, termasuk investor
asing, menjadi enggan melakukan kegiatan bisnis atau menanamkan modalnya di
Indonesia. Akibatnya, kondisi perekonomian nasional pada masa pemerintahan
reformasi cenderung lebih buruk daripada saat pemerintahan transisi. Bahkan,
lembaga pemeringkat internasional Moody’s Investor Service mengkonfirmasikan
bertambah buruknya country risk Indonesia. Meskipun beberapa indikator ekonomi
makro mengalami perbaikan, namun karena kekhawatiran kondisi politik dan
sosial, lembaga rating lainnya (seperti Standard & Poors) menurunkan prospek
jangka panjang Indonesia dari stabil ke negatif.
Kalau kondisi seperti ini terus berlangsung,
tidak mustahil tahun 2002 ekonomi Indonesia akan mengalami pertumbuhan jauh
lebih kecil dari tahun sebelumnya, bahkan bisa kembali negatif. Pemerintah tidak
menunjukkan keinginan yang sungguh-sungguh (political will) untuk menyelesaikan
krisis ekonomi hingga tuntas dengan prinsip once and for all. Pemerintah
cenderung menyederhanakan krisis ekonomi dewasa ini dengan menganggap
persoalannya hanya terbatas pada agenda masalah amandemen UU Bank Indonesia,
desentralisasi fiskal, restrukturisasi utang, dan divestasi BCA dan Bank Niaga.
Munculnya berbagai kebijakan pemerintah yang controversial dan inkonsistens,
termasuk pengenaan bea masuk impor mobil mewah untuk kegiatan KTT G-15 yang
hanya 5% (nominalnya 75%) dan pembebasan pajak atas pinjaman luar negeri dan
hibah, menunjukkan tidak adanya sense of crisis terhadap kondisi riil
perekonomian negara saat ini.
Fenomena makin rumitnya persoalan ekonomi
ditunjukkan oleh beberapa indikator ekonomi. Pergerakan Indeks Harga Saham
Gabungan (IHSG) antara 30 Maret 2000 hingga 8 Maret 2001 menunjukkan growth
trend yang negatif. Dalam perkataan lain, selama periode tersebut IHSG merosot
hingga lebih dari 300 poin yang disebabkan oleh lebih besarnya kegiatan
penjualan daripada kegiatan pembelian dalam perdagangan saham di dalam negeri.
Hal ini mencerminkan semakin tidak percayanya pelaku bisnis dan masyarakat
terhadap prospek perekonomian Indonesia, paling tidak untuk periode jangka
pendek indikator kedua yang menggambarkan rendahnya kepercayaan pelaku bisnis
dan masyarakat terhadap pemerintah reformasi adalah pergerakan nilai tukar
rupiah terhadap dolar AS. Seperti yang dapat kita lihat pada grafik di bawah
ini, pada awal tahun 2000 kurs rupiah sekitar Rp7.000,- per dolar AS dan pada
tanggal 9 Maret 2001 tercatat sebagai hari bersejarah sebagai awal kejatuhan
rupiah, menembus level Rp10.000,- per dolar AS. Untuk menahan penurunan lebih
lanjut, Bank Indonesia secara agresif terus melakukan intervensi pasar dengan
melepas puluhan juta dolar AS per hari melalui bank-bank pemerintah. Namun,
pada tanggal 12 Maret 2001, ketika Istana Presiden dikepung para demonstran
yang menuntut Presiden Gus Dur mundur, nilai tukar rupiah semakin merosot.
Pada bulan April 2001 nilai tukar rupiah
terhadap dolar AS sempat menyentuh Rp12.000,- per dolar AS. Inilah rekor kurs
rupiah terendah sejak Abdurrahman Wahid terpilih sebagai Presiden Republik
Indonesia.
Lemah dan tidak stabilnya nilai tukar rupiah
tersebut sangat berdampak negatif terhadap roda perekonomian nasional yang bisa
menghambat usaha pemulihan, bahkan bisa membawa Indonesia ke krisis kedua yang
dampaknya terhadap ekonomi, sosial, dan politik akan jauh lebih besar daripada
krisis pertama. Dampak negatif ini terutama karena dua hal. Pertama,
perekonomian Indonesia masih sangat tergantung pada impor, baik untuk
barang-barang modal dan pembantu, komponen dan bahan baku, maupun barang-barang
konsumsi. Kedua, utang luar negeri (ULN) Indonesia dalam nilai dolar AS, baik
dari sektor swasta maupun pemerintah, sangat besar.
Indikator-indikator lainnya adalah angka
inflasi yang diprediksi dapat menembus dua digit dan cadangan devisa yang pada
minggu terakhir Maret 2000 menurun dari 29 milyar dolar AS menjadi 28,875 dolar
AS.
Rangkuman keadaan sistem ekonomi Indonesia
pada masa pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid memiliki karakteristik sebagai
berikut:
Dibandingkan dengan tahun sebelumnya, kondisi
perekonomian Indonesia mulai mengarah pada perbaikan, di antaranya pertumbuhan
PDB yang mulai positif, laju inflasi dan tingkat suku bunga yang rendah,
sehingga kondisi moneter dalam negeri juga sudah mulai stabil.
Hubungan pemerintah dibawah pimpinan
Abdurahman Wahid dengan IMF juga kurang baik, yang dikarenakan masalah, seperti
Amandemen UU No.23 tahun 1999 mengenai bank Indonesia, penerapan
otonomi daerah (kebebasan daerah untuk pinjam uang dari luar negeri) dan revisi
APBN 2001 yang terus tertunda.
Politik dan sosial yang tidak stabil semakin
parah yang membuat investor asing menjadi enggan untuk menanamkan modal di
Indonesia.
Makin rumitnya persoalan ekonomi ditandai
lagi dengan pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang cenderung
negatif, bahkan merosot hingga 300 poin, dikarenakan lebih banyaknya kegiatan
penjualan daripada kegiatan pembelian dalam perdagangan saham di dalam negeri.
Pada masa kepemimpinan presiden Abdurrahman
Wahid pun, belum ada tindakan yang cukup berarti untuk menyelamatkan negara
dari keterpurukan. Padahal, ada berbagai persoalan ekonomi yang diwariskan orde
baru harus dihadapi, antara lain masalah KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme),
pemulihan ekonomi, kinerja BUMN, pengendalian inflasi, dan mempertahankan kurs
rupiah. Malah presiden terlibat skandal Bruneigate yang menjatuhkan kredibilitasnya
di mata masyarakat. Akibatnya, kedudukannya digantikan oleh presiden Megawati.
Ibu Megawati (23 Juli 2001 – 20 Oktober 2004)
Masa kepemimpinan Megawati mengalami
masalah-masalah yang mendesak yang harus diselesaikan yaitu pemulihan ekonomi
dan penegakan hokum. Kebijakan-kebijakan yang ditempuh untuk mengatasai
persoalan-persoalan ekonomi antara lain :
Meminta penundaan pembayaran utang sebesar
US$ 5,8 milyar pada pertemuan Paris Club ke-3 dan mengalokasikan pembayaran
utang luar negeri sebesar Rp 116.3 triliun
Kebijakan privatisasi BUMN. Privatisasi
adalah menjual perusahaan negara di dalam periode krisis dengan tujuan
melindungi perusahaan negara dari intervensi kekuatan-kekuatan politik dan
mengurangi beban negara. Hasil penjualan itu berhasil menaikkan pertumbuhan
ekonomi Indonesia menjadi 4,1 %. Namun kebijakan ini memicu banyak kontroversi,
karena BUMN yang diprivatisasi dijual ke perusahaan asing. Megawati bermaksud
mengambil jalan tengah dengan menjual beberapa asset Negara untuk membayar
hutang luar negeri. Akan tetapi, hutang Negara tetap saja menggelembung karena
pemasukan Negara dari berbagai asset telah hilang dan pendapatan Negara menjadi
sangat berkurang.
Bapak Susilo Bambang Yudhoyono (20 Oktober
2004)
Masa kepemimpinan SBY terdapat kebijakan yang
sikapnya kontroversial yaitu :
Mengurangi subsidi BBM atau dengan kata lain
menaikkan harga BBM. Kebijakan ini dilatarbelakangi oleh naiknya harga minyak
dunia. Anggaran subsidi BBM dialihkan ke sektor pendidikan dan kesehatan, serta
bidang-bidang yang mendukung kesejahteraan masyarakat.
Kebijakan kontroversial pertama itu
menimbulkan kebijakan kontroversial kedua, yakni Bantuan Langsung Tunai (BLT)
bagi masyarakat miskin. Kebanyakan BLT tidak sampai ke tangan yang berhak, dan
pembagiannya menimbulkan berbagai masalah sosial.
Mengandalkan pembangunan infrastruktur massal
untuk mendorong pertumbuhan ekonomi serta mengundang investor asing dengan
janji memperbaiki iklim investasi. Salah satunya adalah diadakannya Indonesian
Infrastructure Summit pada bulan November 2006 lalu, yang mempertemukan para
investor dengan kepala-kepaladaerah. Investasi merupakan faktor utama untuk
menentukan kesempatan kerja. Mungkin ini mendasari kebijakan pemerintah yang
selalu ditujukan untuk memberi kemudahan bagi investor, terutama investor
asing, yang salah satunya adalah revisi undang-undang ketenagakerjaan. Jika
semakin banyak investasi asing di Indonesia, diharapkan jumlah kesempatan kerja
juga akan bertambah.
Lembaga kenegaraan KPK (Komisi Pemberantasan
Korupsi) yang dijalankan pada pemerintahan SBY mampu memberantas para koruptor
tetapi masih tertinggal jauh dari jangkauan sebelumnya karena SBY menerapkan
sistem Soft Law bukan Hard Law. Artinya SBY tidak menindak tegas orang-orang
yang melakukan KKN sehingga banyak terjadi money politic dan koruptor-koruptor
tidak akan jera dan banyak yang mengulanginya.
Program konversi bahan bakar minyak ke bahan
bakar gas dikarenakan persediaan bahan bakar minyak semakin menipis dan harga
di pasaran tinggi.
Pada tahun 2006 Indonesia melunasi seluruh
sisa hutang pada IMF (International Monetary Fund). Dengan ini, maka diharapkan
Indonesia tak lagi mengikuti agenda-agenda IMF dalam menentukan kebijakan dalam
negeri. Namun wacana untuk berhutang lagi pada luar negri kembali mencuat,
setelah keluarnya laporan bahwa kesenjangan ekonomi antara penduduk kaya dan
miskin menajam, dan jumlah penduduk miskin meningkat dari 35,10 jiwa di bulan
Februari 2005 menjadi 39,05 juta jiwa pada bulan Maret 2006. Hal ini disebabkan
karena beberapa hal, antara lain karena pengucuran kredit perbankan ke sektor
riil masih sangat kurang (perbankan lebih suka menyimpan dana di SBI), sehingga
kinerja sektor riil kurang dan berimbas pada turunnya investasi. Pengeluaran
Negara pun juga semakin membengkak dikarenakan sering terjadinya bencana alam
yang menimpa negeri ini.
Perekonomian Masa Jokowi
Pelantikan Joko Widodo (Jokowi) sebagai
Presiden RI ke-7, Periode 2014 – 2019, mendapat sambutan meriah. Dibalik
kemeriahan, tugas Jokowi sebagai presiden sungguh berat. Wawancara DW dengan
Rajiv Biswas.
Saat ini, pertumbuhan ekonomi Indonesia
sedang mandek menyusul naiknya kekhawatiran soal korupsi dan proteksionisme.
Bukan hanya itu, Jokowi juga harus bisa meraih hati anggota parlemen supaya
bisa mendukung penuh langkah-langkah pemerintahannya, khususnya terkait upaya
menghidupkan kembali pertumbuhan ekonomi di kawasan Asia Tenggara, yang telah
melambat dalam beberapa bulan terakhir serta defisit yang semakin tinggi.
Ditekankan olehnya, jika pemerintahan Presiden
Jokowi tidak mampu mewujudkan agenda reformasi terkait upaya meningkatkan iklim
bisnis dan membuat Indonesia lebih kompetitif, maka investor-investor global
bisa dengan mudah kehilangan kepercayaan terhadap prospek bisnis di Indonesia.
Berikut petikan wawancaranya.
DW: Banyak analis berpendapat bahwa ekonomi
Indonesia beberapa tahun belakangan kinerjanya dibawah harapan. Terakhir, Bank
Indonesia (BI), yang merupakan Bank sentral, telah merevisi proyeksi
pertumbuhan ekonomi hingga akhir tahun, dari 5,9 persen menjadi 5,1 persen.
Mengapa ekonomi Indonesia seperti kehilangan vitalitasnya?
Apa dampak kebijakan ini terhadap masa depan
ekonomi bangsa di pemerintahan yang baru?
Pelantikan presiden baru tentu akan sangat
penting bagi paparan ekonomi Indonesia. Presiden SBY akhirnya turun setelah 10
tahun berkuasa, dimana dia meningalkan warisan pemerintahan demokrasi dan
kemajuan dalam pembangunan ekonomi. Dalam pemerintahan yang baru, Jokowi akan
memainkan peran yang cukup menentukan dalam membentuk masa depan ekonomi bangsa
melalui kebijakan-kebjikan ekonomi. Bukan hanya itu, Jokowi juga akan memainkan
peran untuk memutuskan apakah akan mengupayakan strategi globalisasi dan
memperluas integritas internasional atau akan lebih nasionalis, dengan
melindungi pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Satu hal yang juga menjadi tantangan yang
bakal dialami pemerintahan Jokowi adalah partai PDI-P, yang menggolkan Jokowi
menjadi Presiden RI, setelah berkoalisi hanya mampu menguasai 40 persen kursi
parlemen. Posisi ini, tentu menjadi hal serius bagi agenda reformasi Jokowi.
Outlook jangka menengah masa depan Indonesia
akan dibentuk oleh agenda kebijakan presiden serta para menteri bidang ekonomi
yang ditunjuk. Sebab dalam dua tahun terakhir telah ada kebijakan nasionalis
yang cukup signifikan, khususnya disektor sumber daya alam. Perhatian utama
bagi para investor global adalah apakah hal tersebut bisa diterapkan dalam
sektor industri lainnya.
Presiden Jokowi, harus melakukan reformasi
terbesar pada sektor ekonomi mikro. Ini yang menjadi kunci utama.
Apa yang akan menjadi tantangan ekonomi
terbesar dalam pemerintahan yang baru? Kendati Indonesia membuat sejumlah
kemajuan di bidang stabilisasi ekonomi makro di bawah pemerintahan SBY, kunci
terpentingnya bagi Jokowi adalah menerapkan reformasi-reformasi krusial ekonomi
mikro.
Beberapa prioritas dalam pemerintahan Jokowi
adalah mengakselerasi perkembangan infrastruktur untuk pembangkit listrik,
transmisi, pelabuhan, bandara dan jalan raya. Secara signifikan meningkatkan
mutu pendidikan serta pelatihan kejuruan untuk membangun modal sumber daya
manusia Indonesia dalam sektor-sektor industri kunci.
Kebijakan apa yang diperlu diperkenalkan
untuk mendorong pertumbuhan ekonomi? Pemerintahan baru yang dipimpin Jokowi
harus perlu melakukan reformasi ekonomi makro yang menjadi kunci penting bagi
sektor industri seperti pembangkit listrik, distribusi barang dan pelabuhan
supaya bisa menciptakan industri yang lebih kompetitif, yang pada akhirnya juga
akan ikut membantu mengkatalisasi perkmbangan ekonomi.
Pemerintahan Jokowi juga perlu bergerak maju
disektor liberaliasi perdagangan dan investasi, yang sekarang sedang
dinegosiasikan dibawah pola ASEAN Economic Community, yang akan diterapkan pada
2015 mendatang.
Bagaimana soal korupsi, yang kini merajalela
di Indonesia dan khawatirkan mempengaruhi perluasan dan pengembangan ekonomi
Indonesia?
Menurut dataTransparency International’s
(TI), secara global Indonesia memiliki level korupsi yang cukup tinggi dan
peringkat ini sangat buruk. Presiden SBY sudah mencoba mengatasi masalah ini
selama kepemimpinannya. Hasilnya, ada beberapa kemajuan dicapai. Korupsi
bagaimana pun juga tetap menjadi faktor negatif utama yang dihadapi oleh
investor global.
Apa yang harusnya menjadi tolak ukur bagi
pemerintahan baru untuk memberantas korupsi? Pemerintahan selanjutnya harus
memperkuat kekuasaan dan resourcingunit-unit anti-korupsi di pemerintah
pusat dan menerapkan metode praktik global terbaik di tubuh
kementerian-kementerian serta perusahaan-perusahaan BUMN. Untuk mencapai ini,
Indonesia harus mencari bantuan dari negara-negara yang sudah memiliki rekam
jejak bagus dalam pemberantasan korupsi, seperti Selandia Baru dan
negara-negara Skandinavia.
Indonesia dalam beberapa tahun terakhir telah
mencetak surplus perdagangan hingga semester kedua 2012. Sayang angka ini
kemudian anjlok menyusul turunnya harga batu-bara dan sejumlah komoditas
lainnya sehingga berdampak pada defisitnya neraca perdagangan. Sedangkan
pertumbuhan pemintaan domestik telah mendorong impor, sekaligus menjadi roda
penggerak pertumbuhan ekonomi.
Neraca perdagangan Indonesia pada 2014, telah
terpukul jauh karena keputusan pemerintah SBY pada Januari lalu yang melarang
ekspor beras, bahan mineral, khususnya tembaga dan nikel. Diskusi yang
berlangsung antara perusahaan-perusahaan tambang internasional dan Jakarta
untuk mencoba menemukan sejumlah solusi jangka pendek.
Undang-undang yang diperkenalkan pada Januari
akan memperpanjang larangan memproses biji besi pada 2017. Tujuan pemerintah
menerapkan aturan ini adalah untuk mendorong perusahaan-perusahaan tambang
melakukan shift produksi ke negara lain, jika pengolahan di Indonesia kurang
komptitif.
Ada pula kekhawatiran bahwa pemerintah
berikutnya akan menerapkan kebijakan populis. Apa sebetulnya yang bisa dilakukan
pemerintahan berikutnya untuk mengurangi kemiskinan dan mendistribusikan
kekayaan negara tanpa harus menambah anggaran?
Yang bisa dilakukan, yakni mempersempit
kesenjangan dan menyediakan layanan kesehatan yang terjangkau bagi masyarakat.
Ada sebuah risiko yang cukup rawan bagi
pemerintahan mendatang, yakni kebijakan populis untuk meningkatkan belanja
pemerintah, contoh menaikkan upah bagi sektor pekerja atau menaikkan anggaran
sosial khususnya dibidang kesehatan. Hal ini secara perlahan berisiko mengikis
kemajuan yang dibuat dalam beberapa dekade terakhir dalam upaya mengurangi
utang.
Pemerintahan Jokowi juga perlu berhati-hati
dalam mengatur pengeluaran negara, seperti pengeluaran untuk menjaga defisit
agar tetap rendah dan membatasi utang pemerintah terhadap rasio PDB. Salah satu
langkah yang juga penting yakni mengurangi subsidi BBM, yang masih menguras
sumber fiskal negara.
Bagaimana investor asing memandang Indonesia
sebagai tempat tujuan investasi dan pemerintahan seperti apa yang ingin mereka
lihat?
Investor asing secara signifikan menilai
Indonesia sepanjang 2010 hingga 2013 sebagai tempat tujuan investasi, hal itu
ditandai dengan naiknya foreign direct investment (FDL) maupun investasi yang
mengalir ke pasar modal. Factor penting yang mengendalikan hal ini adalah
situasi ekonomi makro yang membaik hingga perusahaan-perusahaan pemeringkat
utang grade investment grade untuk Indonesia.
Arus investasi asing langsung ke Indonesia
pada rentan waktu tersebut naik hingga 2 kali lipat. Akan tetapi jika pemerintahan
Jokowi tidak mengejar reformasi kunci, yakni memperbaiki iklim usaha dan
menjadikan Indonesia lebih kompetitif, maka dengan mudah pula investor global
akan kehilangan kepercayaan terhadap prospek bisnis tanah air.
Bagaimana memproyeksikan ekonomi Indonesia
dalam 1 tahun kedepan dan apa outlook jangka menengah? Proyeksi IHS adalah
ekonomi Indonesia akan tumbuh 5,2 persen pada 2014 ini dan 5,5 persen pada
2015. Akan tetapi, outlook untuk 2015 dan rencana jangka menengah sebagian
besar masih tergantung pada bagaimana pemerintah yang baru melanjutkan
managemen ekonomi makro yang sehat dan melakukan reformasi pasar yang
berkelanjutan.
Nama
Kelompok : (1EB11)
- Aldi Rivaldi
- Lia Astuti
- Venny Arifani
- Aldi Rivaldi
- Lia Astuti
- Venny Arifani
SUMBER:
No comments:
Post a Comment