Kondisi Ekonomi Daerah
Gambaran umum kondisi ekonomi di Provinsi Jawa Timur
dapat dilihat dari perkembangan tingkat pertumbuhan ekonomi yang diukur dari
indikator Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Berdasarkan data fundamental
makroekonomi, pertumbuhan ekonomi Jawa Timur didorong oleh tiga sektor utama,
antara lain: pertanian, industri manufaktur serta sektor perdagangan, hotel,
dan restoran. Grafik dibawah ini menjelaskan perbandingan data pertumbuhan
ekonomi PDRB antara Jawa Timur dengan pertumbuhan ekonomi nasional yang diukur
berdasarkan data Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. Sejak resesi dunia
melanda di hampir seluruh wilayah di Indonesia pada tahun 2008, Jawa Timur
mampu menciptakan pertumbuhan ekonomi yang positif 4.63 persen pada tahun 2009.
Pertumbuhan ekonomi Jawa Timur selama 5 tahun mengalami tren yang meningkat,
meski mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi di tahun, 2012 dan 2013. Dalam
rentang waktu 5 tahun tersebut, provinsi Jawa Timur mengalami pertumbuhan yang
paling tinggi di tahun 2011 mencapai 7.3 persen.
Pertumbuhan ekonomi di wilayah Jawa Timur memiliki
pola yang hampir sama dengan pertumbuhan ekonomi di tingkat nasional, dimana
siklus bisnis yang ada di tingkat nasional juga memberikan efek terhadap
perekonomian Jawa Timur. Sebagai contoh, di tahun 2012-2013 pertumbuhan ekonomi
nasional melambat dari 7.27 persen menjadi 6.55 persen. Namun secara umum dapat
disimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang ada di wilayah Jawa Timur masih
dibawah tingkat pertumbuhan ekonomi nasional dengan rentang perbedaan antara 0
hingga 1 persen. Grafik dibawah ini menjelaskan bahwa meskipun seluruh wilayah
di Indonesia mengalami tren penurunan pertumbuhan tinggi, namun Jawa Timur masih
mempertahankan tingkat pertumbuhan yang relatif tinggi mencapai 5.9%.
Tabel dibawah ini menjelaskan data pertumbuhan ekonomi
yang dikelompokkan berdasarkan data sektoral, meliputi: pertanian, pertambangan
dan penggalian, industri pengolahan, listrik, gas dan air bersih, bangunan,
perdagangan, hotel dan restoran, pengangkutan dan komunikasi, keuangan,
persewaan dan jasa. Jika dilihat dari tabel tersebut, beberapa sektor yang mengalami
pertumbuhan ekonomi diatas 6 persen, antara lain: industri pengolahan, listrik,
gas dan air bersih, bangunan, perdagangan, hotel, dan restoran, pengangkutan
dan komunikasi serta keuangan, persewaan, dan jasa. Dalam tabel tersebut juga
dijelaskan bahwa sektor bangunan memiliki tingkat pertumbuhan tertinggi
mencapai 8,98 persen. Selanjutnya, sektor industri pengolahan yang mengalami
pertumbuhan yang cukup tinggi, dan stabil di level 5 hingga 7 persen, meski
mengalami indikasi perlambatan di triwulan ke III tahun 2014 di angka 5.5
persen.
Sektor pertanian di wilayah Jawa Timur masih memiliki
peringkat terendah dalam tingkat pertumbuhan, dibandingkan dengan pertumbuhan
dari sektor-sektor lainnya. Di awal triwulan I tahun 2014, pertumbuhan sektor
pertanian hanya mencatat 0.88 persen, dan mengalami perlambatan hingga 0.26
persen di triwulan II. Namun di triwulan ke III, pertumbuhan sektor pertanian
mengalami kenaikan yang sangat signifikan mencapai 5,46 persen. Hal ini
dimungkinkan karena jadwal panen yang mendekati triwulan ke III dan ke IV,
sehingga mendorong produksi hasil pertanian yang meningkat secara drastis.
Secara umum, di tahun 2014, sektor pertanian hanya mengalami pertumbuhan
mencapai 2,2 persen.
Tabel 4.1 Data Pertumbuhan ekonomi PDRB sektoral tahun
2014
Pertumbuhan ekonomi (yoy)
|
2014/I
|
2014/II
|
2014/III
|
2014*
|
Pertanian
|
0.88
|
0.26
|
5.46
|
2.20
|
Pertambangan
dan Penggalian
|
4.57
|
2.9
|
1.97
|
3.15
|
Industri
Pengolahan
|
6.81
|
6.81
|
5.5
|
6.37
|
Listrik,
gas, dan air bersih
|
5.29
|
6.84
|
6.56
|
6.23
|
Bangunan
|
9.54
|
7.94
|
9.46
|
8.98
|
Perdagangan,
Hotel dan Restoran
|
6.79
|
7.37
|
6.37
|
6.84
|
Pengangkutan
dan Komunikasi
|
9.5
|
7.53
|
4.98
|
7.34
|
Keuangan,
Persewaan, dan Jasa
|
7.67
|
7.37
|
8.01
|
7.68
|
Jasa
|
8.45
|
3.96
|
4.95
|
5.79
|
Pertumbuhan
PDRB (yoy)
|
6.26
|
5.9
|
5.91
|
6.02
|
*Data tahun 2014 adalah rata-rata data triwulan I
hingga semester ke III 2014; yoy adalah year on year atau tahunan.
Penjelasan terkait pembangunan ekonomi yang
direfleksikan dengan pertumbuhan ekonomi juga harus dikaitkan dengan tingkat
inflasi atau tingkat kenaikan harga secara umum. Hal ini dilakukan agar
pertumbuhan ekonomi yang diraih oleh suatu wilayah benar-benar merefleksikan
tingkat kesejahteraan masyarakat yang dilihat dari perbandingan antara tingkat
pendapatan (PDRB) dengan tingkat harga (inflasi). Jika pertumbuhan ekonomi
tidak dibarengi dengan penjagaan tingkat inflasi, maka kesejahteraan masyarakat
akan semakin menurun karena tingkat pendapatan tidak mampu mengimbangi naiknya
harga-harga yang direfleksikan dengan naiknya tingkat inflasi.
Jika dilihat dari grafik dibawah ini, dapat
digambarkan bahwa tingkat inflasi Jawa Timur memiliki pola yang relatif sama
dengan tingkat inflasi nasional. Berdasarkan data inflasi tahun 2009 hingga
2013, Provinsi Jawa Timur secara umum mengalami tingkat kenaikan harga yang
cukup signifikan dari 3,62 persen di tahun 2009 mencapai 7,59 persen di tahun
2013. Meski di tahun 2013, angka inflasi Jawa Timur (7,59 persen) dibawah
inflasi nasional (8,38 persen) namun tingkat inflasi ini nilainya lebih besar
dari tingkat pertumbuhan yang hanya mencapai 5,78 persen di Jawa Timur.
Grafik 4.2b Perbandingan tingkat inflasi dan pertumbuhan
ekonomi Jawa Timur (2009-2014)
Inflasi merupakan indikator yang penting dalam
mendukung pembangunan ekonomi secara umum. Dalam sudut pandang ini, inflasi
yang rendah merupakan syarat utama bagi tercapainya pembangunan ekonomi yang
berkualitas. Pada kondisi tertentu inflasi dapat memberikan dampak yang positif
(men-trigger investasi yang lebih besar), namun di sisi lain inflasi
juga dapat menimbulkan dampak negatif. Inflasi yang tinggi merupakan ancaman
yang membahayakan bagi perekonomian, karena selain dapat menyebabkan penurunan
investasi di sektor riil, dan kelesuan dunia usaha, Inflasi juga dapat
menurunkan tingkat daya beli masyarakat yang pada akhirnya menghambat
pertumbuhan ekonomi. Melihat pentingnya penjagaan stabilitas harga atau inflasi
yang rendah, maka koordinasi kebijakan inflasi di tingkat regional Jawa Timur
diharapkan dapat mengendalikan inflasi pada tingkat yang rendah, dan stabil,
hal ini diupayakan agar inflasi tidak menganggu aktivitas perekonomian secara
umum, dan menghambat pertumbuhan ekonomi.
Jika dilihat dari penyebabnya (inflasi inti dan
inflasi non inti), dapat dijelaskan bahwa kebijakan pemerintah memiliki peran
yang strategis dalam mendukung upaya pencapaian inflasi yang rendah dan stabil.
Secara langsung, kebijakan pemerintah dalam bentuk administered prices
seperti kenaikkan harga energi (Bahan Bakar Minyak atau BBM dan Tarif Dasar
Listrik atau TDL) memiliki efek langsung maupun tidak langsung terhadap pemicu
terjadinya inflasi. Disisi lain, secara tidak langsung kebijakan pemerintah
dalam konteks pengendalian sisi penawaran dan tata niaga berkontribusi penting
terhadap inflasi yang sifatnya lokal.
Selanjutnya Jika melihat pergerakan inflasi year on
year (yoy) di Jawa Timur dapat dijelaskan bahwa pergerakannya menyesuaikan business
cycle perekonomian di tingkat nasional. Pergerakan inflasi di Jawa Timur
tidak terlepas dari tiga komponen utama, antara lain: Inflasi yang disebabkan
oleh harga bahan-bahan makanan (Volatile foods), Inflasi yang disebabkan
oleh kebijakan pemerintah (Administered Prices) serta Inflasi yang
disebabkan oleh kesenjangan output (Core Inflation).
Tabel dibawah ini menjelaskan tingkat inflasi di
beberapa wilayah di Jawa Timur, antara lain: Surabaya, Malang, Kediri, Jember,
Probolinggo, Madiun, Sumenep dan Banyuwangi. Beberapa wilayah yang memiliki
tingkat inflasi diatas 6 persen, antara lain: Malang, dan Probolinggo.
Selanjutnya wilayah yang memiliki tingkat inflasi yang rendah, antara lain:
Banyuwangi, dan Madiun yaitu dibawah 5,5 persen. Secara umum di tahun 2014,
tingkat inflasi di Jawa Timur relatif menurun jika dibandingkan dengan tingkat
inflasi pada tahun 2013 yang mencapai 7,53 persen.
Tabel 4.2 Data Inflasi yoy di beberapa wilayah di Jawa
Timur tahun 2014
LAJU INFLASI (Y-O-Y)
|
2014
|
|
||
I
|
II
|
III
|
2014*
|
|
Jawa Timur
|
6.75
|
6.66
|
4.13
|
5.85
|
Kota
Surabaya
|
6.69
|
6.57
|
4.38
|
5.88
|
Kota
Malang
|
7.12
|
6.91
|
4.57
|
6.20
|
Kota
Kediri
|
6.76
|
6.54
|
3.58
|
5.63
|
Kab.
Jember
|
6.71
|
6.53
|
3.22
|
5.49
|
Kota
Probolinggo
|
7.37
|
7.04
|
3.6
|
6.00
|
Kota
Madiun
|
6.12
|
6.42
|
3.76
|
5.43
|
Kab.
Sumenep
|
5.86
|
6
|
4.15
|
5.34
|
Kab.
Banyuwangi
|
6.63
|
7.17
|
2.45
|
5.42
|
*Data tahun 2014 adalah rata-rata data triwulan 2014
hingga semester ke III; yoy adalah year on year atau tahunan.
Dalam mengukur produktivitas modal (capital) di
Jawa Timur dapat diukur dari rasio modal (investasi) terhadap output
(PDRB). Berdasarkan data incremental capital to output ratio (ICOR),
nilai yang tinggi menunjukan inefisiensi dalam penggunaan modal dan sebaliknya.
Data tahun 2009 hingga 2013 menunjukan tren yang menurun, sebagai refleksi
penurunan tingkat inefisiensi penggunaan modal. Di tahun 2009, rasio penggunaan
modal terhadap output mencapai 3,59 , nilai ini mengalami penurunan hingga 2012
mencapai 2,92 . Namun ICOR mengalami kenaikan di tahun 2013, mencapai 3,10.
Grafik 4.3 Incremental Capital to Output Ratio
Tabel dibawah ini menjelaskan klasifikasi penanaman
modal antara domestik dan asing di Jawa timur dalam rentang waktu 2009 hingga
2013. Secara umum, Jawa Timur memiliki tren yang meningkat dalam penanaman
modal baik asing maupun domestik dalam lima tahun terakhir. Di tahun 2009,
jumlah PMDN meningkat dari 36 mencapai 252 di tahun 2013. Hal yang sama juga
terjadi di PMA, dimana jumlah PMA meningkat dari 96 di tahun 2009, menjadi 174
di tahun 2013. Pertumbuhan PMA dan PMDN di Jawa Timur mengalami jumlah yang
signifikan di tahun 2012 mencapai 90,31 persen.
Tabel 4.3 Klasifikasi penanaman modal antara domestik
dan asing di Jawa Timur 2009-2013
Tahun
|
PMDN
|
PMA
|
TOTAL
|
|||
Jumlah
|
(%)
|
Jumlah
|
(%)
|
Jumlah
|
(%)
|
|
2009
|
36
|
5.88
|
96
|
3.23
|
132
|
3.94
|
2010
|
88
|
144.44
|
114
|
18.75
|
202
|
53.03
|
2011
|
115
|
30.68
|
174
|
52.63
|
289
|
43.07
|
2012
|
355
|
208.7
|
195
|
12.07
|
550
|
90.31
|
2013
|
252
|
-29.01
|
174
|
-10.77
|
426
|
-22.55
|
Gambaran tenaga kerja di Jawa Timur dapat dilihat dari
beberapa indikator yang dapat dirangkum dalam tabel dibawah ini. Secara umum,
jumlah angkatan kerja di Jawa Timur sebanyak 20.150 pada akhir Agustus 2014.
Jumlah angkatan kerja tidak mengalami kenaikan yang signifikan dari tahun ke
tahun sejak 2012. Selanjutnya, jika dibandingkan jumlah angkatan kerja dan
jumlah yang bekerja atau rasio TPAK dapat dijelaskan bahwa secara umum jumlah
angkatan kerja yang terserap sebanyak 68,12 persen di bulan Agustus 2014. Nilai
ini menurun sejak Februari 2012 yang mampu menyerap hingga 69,54 persen.
Tingkat pengangguran terbuka (TPT) menunjukan tingkat yang relatif stabil di
level 4,19 persen, menunjukan bahwa Jawa Timur relatif baik dalam mendorong angkatan
kerja untuk bekerja, dan tidak menganggur.
Tabel 4.4 Kondisi ketenagakerjaan di Jawa Timur
Kegiatan
|
2012
|
2013
|
2014
|
|||
Feb
|
Aug
|
Feb
|
Aug
|
Feb
|
Aug
|
|
Angkatan
Kerja
|
20,158
|
20,238
|
20,462
|
20,432
|
20,718
|
20,150
|
Bekerja
|
19,332
|
19,411
|
19,654
|
19,554
|
19,885
|
19,307
|
Menganggur
|
826
|
827
|
808
|
879
|
832
|
843
|
TPAK (%)
|
69.54%
|
69.57%
|
70.11%
|
69.78%
|
70.52%
|
68.12%
|
TPT (%)
|
4.10%
|
4.09%
|
3.95%
|
4.30%
|
4.02%
|
4.19%
|
Sumber: BPS dan Bank Indonesia
Tabel dibawah ini menjelaskan penyerapan tenaga kerja
di seluruh sektor di Jawa Timur dalam rentang waktu 2012 hingga 2014. Secara
umum tingkat penyerapan tenaga kerja mengalami kenaikan. Keadaan ini selain
merefleksikan karakteristik penggunaan modal (capital intensive) maupun
tenaga kerja (labour intensive) di tiap sektornya, juga menggambarkan
gairah pertumbuhan dan penyerapan tenaga kerja di masing-masing sektor. Di
Triwulan I dan II tahun 2014, hampir seluruh sektor mengalami penyerapan tenaga
kerja yang negatif dengan rata-rata masing-masing adalah -2,94 dan -1,44.
Beberapa sektor yang mengalami pertumbuhan positif penyerapan tenaga kerja di
atas 0,5 persen, antara lain: pengangkutan dan komunikasi serta keuangan,
persewaan dan jasa perusahaan. Selanjutnya di akhir tahun 2014 yaitu triwulan
III dan IV, beberapa sektor usaha mengalami penyerapan tenaga kerja yang
positif dengan rata-rata 5,03 persen. Beberapa sektor yang mengalami penurunan
penyerapan tenaga kerja, antara lain: pertanian, bangunan, pengangkutan dan
komunikasi, serta keuangan, persewaan dan jasa perusahaan.
Tabel 4.5 Penyerapan tenaga kerja sektoral di Jawa
Timur
Sektor
|
2012
|
2013
|
2014
|
|||||||||
I
|
II
|
III
|
IV
|
I
|
II
|
III
|
IV
|
I
|
II
|
III
|
IV*
|
|
Realisasi
|
||||||||||||
Pertanian
|
1,54
|
-0,62
|
-0,39
|
-0,15
|
0,68
|
-0,48
|
0,19
|
-0,17
|
-0,97
|
-0,29
|
0,56
|
0,47
|
Pertambangan
|
0,03
|
-0,21
|
-0,21
|
0,37
|
0,35
|
0,52
|
0,21
|
0,73
|
0,07
|
0,00
|
0,39
|
0,39
|
Industri
Pengolahan
|
-3,50
|
3,44
|
-1,69
|
-4,33
|
-8,16
|
-4,68
|
-5,46
|
-2,87
|
-1,13
|
-1,85
|
-0,04
|
1,08
|
Listrik,
Gas, dan Air Bersih
|
-0,77
|
-0,82
|
-0,03
|
-0,02
|
0,01
|
-0,39
|
-0,84
|
0,36
|
-0,88
|
-0,43
|
-0,02
|
-0,02
|
Bangunan
|
0,26
|
0,49
|
0,00
|
0,24
|
0,00
|
0,59
|
0,00
|
0,26
|
0,44
|
0,00
|
1,46
|
0,37
|
PHR
|
3,23
|
3,67
|
7,30
|
0,84
|
-1,86
|
0,44
|
-1,77
|
0,79
|
-2,87
|
-0,69
|
-0,34
|
1,17
|
Pengangkutan,
dan Komunikasi
|
-1,52
|
0,46
|
-1,93
|
-0,64
|
-0,92
|
-0,27
|
0,71
|
0,76
|
0,52
|
0,61
|
1,63
|
1,08
|
Keuangan,
Persewaan, & Jasa Perusahaan
|
0,32
|
0,71
|
-0,21
|
0,34
|
-0,20
|
-0,53
|
-0,12
|
0,26
|
1,37
|
1,10
|
1,35
|
0,42
|
Jasa-jasa
|
-0,42
|
0,42
|
-1,82
|
1,36
|
3,13
|
0,00
|
0,78
|
-0,84
|
0,51
|
0,11
|
0,03
|
0,03
|
TOTAL
|
-0,83
|
7,54
|
1,02
|
-1,99
|
-6,97
|
-4,80
|
-6,30
|
-0,72
|
-2,94
|
-1,44
|
5,02
|
4,99
|
Sumber: BPS dan Bank Indonesia
Dari tabel di atas, tampak bahwa secara rata-rata
total pada tahun 2012 menunjukan adanya peningkatan dalam penyerapan tenaga
kerja sektoral di Jawa Timur. Kemudian mengalami penuruan pada tahun 2013, dan
kembali meningkat pada tahun 2014. Sektor PHR selama kuartal pertama tahun
2012, hingga kuartal keempat tahun 2014 menjadi sektor yang mengalami
peningkatan terbesar sebanyak lima kali, yakni kuartal pertama hingga ketiga
tahun 2012, kuartal keempat 2013, dan kuartal keempat tahun 2014. Sementara
sektor industri pengolahan justru menjadi sektor yang cukup sering mengalami
penurunan dalam jumlah paling besar, yakni pada kuartal keempat tahun 2012
hingga kuartal keempat tahun 2013, dan pada kuartal kedua hingga keempat tahun
2014.
Tabel 4.6 Kesempatan Kerja dan Kemiskinan Jawa Timur
dan Nasional
Tahun 2010 – 2014
Uraian
|
Satuan
|
2010
|
2011
|
2012
|
2013
|
2014
|
|||||
Jatim
|
Nasional
|
Jatim
|
Nasional
|
Jatim
|
Nasional
|
Jatim
|
Nasional
|
Jatim
|
Nasional
|
||
Tingkat
Partisipasi Angkatan Kerja
|
%
|
69,08
|
67,22
|
69,49
|
68,34
|
69,57
|
67,76
|
69,78
|
66,77
|
68,12
|
66,60
|
Tingkat Pengangguran
Terbuka
|
%
|
4,25
|
7,14
|
4,16
|
6,56
|
4,09
|
6,13
|
4,30
|
6,17
|
4,19
|
5,94
|
Jumlah
Penganggur
|
Juta org
|
0,829
|
8,320
|
0,821
|
7,700
|
0,826
|
7,350
|
0,878
|
7,410
|
0,843
|
7,240
|
Jumlah
Penduduk Miskin
|
Juta org
|
5,53
|
31,02
|
5,36
|
29,89
|
4,99
|
28,59
|
4,89
|
28,55
|
4,75
|
27,73
|
Prosentase
Penduduk Miskin
|
%
|
15,26
|
13,33
|
14,23
|
12,36
|
13,08
|
11,66
|
12,73
|
11,47
|
12,28
|
10,96
|
Sebagian angkatan kerja di Jawa Timur adalah “low-skilled”
atau tenaga kerja dengan pendidikan rendah. Data Survei Angkatan Kerja Nasional
(Sakernas) tahun 2009 menjelaskan bahwa lebih dari 55 persen angkatan kerja di
Jawa Timur memiliki tingkat pendidikan sekolah dasar atau dibawahnya, dan 21
persen angkatan kerja tidak pernah memasuki bangku sekolah dasar atau tidak
tamat, dan hanya 6 persen dari angkatan kerja yang menikmati pendidikan setelah
SMA. Dalam data tersebut juga dijelaskan bahwa, daerah perkotaan di wilayah
Jawa Timur memiliki angkatan kerja dengan tingkat pendidikan yang lebih baik
dibandingkan dengan wilayah pedesaan. Di wilayah perkotaan, hampir 44 persen
angkatan kerja memiliki spesifikasi SMA/SMK/MA/Sederajat dibandingkan di
wilayah pedesaan yang hanya mencapai 15 persen. Selain itu, kelompok muda di
Jawa timur memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi dibandingkan dengan
kelompok tua.
Grafik 4.4 Tingkat pendidikan tenaga kerja di
Indonesia
Hal penting lainnya dalam konteks ketenegakerjaan,
adalah kesehatan, yang mengalami perbaikan yang cukup signifikan dalam beberapa
dekade terakhir. Sejak 2000, angka kematian bayi dapat dikurangi secara drastis
dari 46 per 1000 di tahun 2000, menjadi 25 per 1000 di tahun 2007. Jika
dibandingkan dengan provinsi lainnya, tingkat kematian bayi di Jawa Timur
dibawah rata-rata angka nasional.
Grafik 4.5 Indikator Kesehatan di Jawa Timur
Perbaikan indikator kesehatan di Jawa Timur salah
satunya disebabkan oleh meningkatnya jumlah fasilitas kesehatan, dan tenaga
kerja. Pada tahun 2000, rumah sakit melayani lebih dari 200.000 orang. Namun di
tahun 2008, angka tersebut turun hingga 170.000. Selanjutnya, rumah sakit
bersalin melayani pasien hingga 213.000 di tahun 2000, dan angka ini menurun
hingga 76.000 di tahun 2008. Selanjutnya, jumlah dokter, dan bidan juga
mengalami peningkatan yang sangat tinggi. Jumlah dokter, dan bidan di Jawa
Timur lebih tinggi dibandinngkan beberapa provinsi lainnya di Jawa, kecuali
Jawa Barat.
Secara umum struktur ekonomi Jawa Timur jika dilihat
dari struktur PDRB didominasi oleh tiga sektor, antara lain: pertanian,
industri manufaktur, dan perdagangan, hotel, dan restoran. Peran masing-masing
sektor tersebut sebesar 16,34 persen , 28,14 persen , dan 28,42 persen pada
tahun 2009, selanjutnya pada tahun 2013 peranan sektor pertanian dan industri
manufaktur turun masing-masing menjadi sebesar 14,90 persen dan 26,61 persen
sedangkan peranan sektor perdagangan, hotel, dan restoran naik menjadi 31,21
persen . Secara kumulatif triwulan III-2014, peranan sektor industri menurun
hingga mencapai 26,20 persen , dan pertanian mengalami kenaikan menjadi 15,63
persen . Terakhir, sektor perdagangan mengalami penurunan menjadi sebesar 31,21
persen .
Tabel 4.7 Kontribusi sektoral terhadap PDRB
No
|
Keterangan
|
2009
|
2010
|
2011
|
2012
|
2013
|
2014 *)
|
1.
|
Pertanian
|
16,34
|
15,75
|
15,38
|
15,38
|
14,90
|
15,63
|
2.
|
Pertambangan
Dan Penggalian
|
2,22
|
2,19
|
2,24
|
2,09
|
2,00
|
1,90
|
3.
|
Industri
Pengolahan
|
28,14
|
27,49
|
27,12
|
27,13
|
26,61
|
26,20
|
4.
|
Listrik,
Gas dan Air Bersih
|
1,55
|
1,51
|
1,43
|
1,35
|
1,29
|
1,29
|
5.
|
Konstruksi
|
4,01
|
4,49
|
4,67
|
4,55
|
4,74
|
4,80
|
6.
|
Perdagangan
, Hotel & Restoran
|
28,42
|
29,47
|
29,99
|
30,41
|
31,34
|
31,21
|
7.
|
Pengangkutan
& Komunikasi
|
5,50
|
5,52
|
5,66
|
5,70
|
5,94
|
6,00
|
8.
|
Keuangan,
Persewaan & Jasa Perush
|
4,83
|
4,90
|
4,97
|
5,04
|
5,10
|
5,11
|
9.
|
Jasa –
Jasa
|
9,00
|
8,68
|
8,55
|
8,35
|
8,09
|
7,88
|
*) Periode
Januari – September 2014
|
Sektor manufaktur masih belum sepenuhnya pulih dari
dampak krisis keuangan tahun 1997. Sektor manufaktur di Jawa Timur
terkonsentrasi di Kota Surabaya, Kota Kediri, Kabupaten Sidoarjo, dan Kabupaten
Gresik. Empat kabupaten dikombinasikan berkontribusi terhadap 72 persen dari
total sektor manufaktur di provinsi ini. Sektor ini sebelumnya merupakan juara
ke provinsi dengan pertumbuhan yang tinggi konsisten. Antara 1991 dan 1996,
sektor ini tumbuh pada tingkat rata-rata 13,1 persen, lebih tinggi dari
rata-rata nasional (11,7 persen) selama periode yang sama. Krisis keuangan,
bagaimanapun memukul sektor manufaktur yang paling sulit dan menyebabkan
penurunan 22 persen dalam pertumbuhan pada tahun 1998. Meskipun pertumbuhan
telah berangsur-angsur membaik sejak tahun 2001, masih belum kembali ke tingkat
pra-krisis. Pemulihan yang lambat di sektor manufaktur menciptakan kekhawatiran
baik pada kinerja sektor sebagai mesin penggerak pertumbuhan serta pada
kemampuan sektor untuk menghasilkan kesempatan kerja.
Hesse (2008) menunjukkan bahwa banyak negara yang
tergantung atau komoditas menunjukkan keranjang ekspor sempit sering menderita
ketidakstabilan ekspor yang timbul dari permintaan global yang inelastis, dan
tidak stabil, sehingga diversifikasi ekspor adalah salah satu cara untuk
mengurangi kendala tertentu. Masalah lainnya terkait dengan daya saing ekspor
suatu negara karena globalisasi dan mempercepat perdagangan lintas batas
memaparkan ekspor negara dengan persaingan global. Untuk menjadi sukses dalam
diversifikasi ekspor, ekspor negara harus kompetitif secara global untuk
mengambil keuntungan dari memanfaatkan pasar dunia. Ekspor manufaktur Jawa
Timur cukup terkonsentrasi di beberapa produk.
Memiliki sumber daya lahan yang masih relatif luas,
Jawa Timur menjadi salah satu provinsi yang dapat diandalkan untuk produksi
pangan dalam negeri, khususnya beras. Berdasarkan ATAP BPS tahun 2011,
kontribusi padi Jawa Timur terhadap produksi padi nasional hingga 16.08 persen,
sementara terhadap produksi jagung nasional mencapai 30,85 persen, sedangkan terhadap
produksi kedelai nasional sebesar 43,11 persen. Berdasarkan tabel dibawah,
tampak bahwa pada sejak tahun 2010 hingga 2013, tingkat produktivitas
(ton/hektar) berada dalam kisaran 5,89 hingga 61,74 ton/hektar. Mengalami
penurunan pada tahun 2011, namun berbalik meningkat pada tahun 2012, bahkan
melampaui tingkat produktivitas pada tahun 2010. Kemudian sedikit mengalami
penurunan pada 2013, dan berdasarkan angka ramalan 1 untuk tahun 2014,
produktivitas akan sedikit mengalami peningkatan.
Tabel 4.8 Produktivitas Padi di Jawa Timur
Tahun
|
Produktivitas (ton/hektar)
|
|
2010
|
59.29
|
|
2011
|
54.89
|
|
2012
|
61.74
|
|
2013
|
59.15
|
|
ARAM I
2014
|
59.41
|
Tabel dibawah ini menjelaskan produksi perikanan di
Jawa Timur dalam rentang waktu 2009 hingga 2013. Secara umum dari tahun ke
tahun, produksi perikanan di Jawa Timur mengalami peningkatan. Berdasarkan data
BPS, pada tahun 2012 jumlah nelayan dan petani ikan adalah 554,642 orang, dan
didominasi pada subsektor perikanan laut. Mayoritas nelayan masih mengandalkan
alat pancing. Nilai total hasil produksi sektor perikanan pada tahun 2012 telah
menembus angka 11 Milyar rupiah. Kedepannya, produksi perikanan secara nasional
diprediksi akan meningkat seiring adanya beberapa kebijakan pemerintah yang
berdampak positif bagi perikanan nasional.
Tabel 4.9 Produksi Perikanan di Jawa Timur Tahun
2009-2013 (Ribu Ton)
Tahun
|
Produksi perikanan
|
|
2009
|
914,088.40
|
|
2010
|
1,113,393.50
|
|
2011
|
1,218,897.80
|
|
2012
|
1,310,976.60
|
|
2013
|
1,391,009.55
|
Diagram berikut menunjukan adanya penurunan kontribusi
pertanian terhadap PDRB yang diakibatkan oleh belum diprioritaskannya
pengembangan sektor pertanian di provinsi Jawa Timur. Kendati sumber daya
ekonomi yang dikuasai sebagian besar masyarakat Jawa Timur adalah sumberdaya
agrobisnis, sayangnya justru muncul sejumlah kebijakan yang berpotensi
merugikan petani serta keberlanjutan sektor pertanian.
Di provinsi Jawa Timur, penggunaan lahan terbesar di
luar perumahan adalah untuk kebun atau tegal, yakni sebesar 1.129.686 hektar
(pada tahun 2012), sedangkan penggunaan lahan terkecil adalah untuk
pengembalaan, yakni sebesar 2.143 hektar (pada tahun 2012). Sementara itu, luas
lahan Irigasi di Jawa Timur adalah 971.496 (pada tahun 2012).
Pada tahun 2009, kontribusi pertanian terhadap PDRB
adalah sebesar 16,34 persen, kemudian turun menjadi 15,75 persen pada tahun
2010. Memasuki tahun berikutnya, yakni pada tahun 2011, kontribusi pertanian
terhadap PDRB kembali turun menjadi 15,38 persen. Angka konstribusi tersebut
mampu dipertahankan pada tahun 2012, namun penurunan kembali terjadi pada tahun
2013 menjadi 14.91 persen. Kondisi ini kemungkinan adalah akibat dari semakin
minimnya jumlah tenaga kerja yang tertarik pada sektor pertanian, dan semakin
banyak pula lahan pertanian yang mengalami alih fungsi.
Grafik 4.6 Kontribusi Sektor Pertanian terhadap PDRB
di Jawa Timur
Diagram dibawah ini menjelaskan Kontribusi Sektor
Perkebunan terhadap PDRB di Jawa Timur dalam rentang waktu 2009 hingga 2013.
Produksi sektor perkebunan Jawa Timur diantaranya adalah kelapa, tebu, jambu
mente, kopi, cengkeh, kapuk randu, kapas, teh, tembakau, karet, dan kakao.
Secara umum pada rentang waktu 2009 hingga 2013, konstribusi sektor perkebunan
mengalami penurunan dan peningkatan secara bergantian. Menurun pada tahun 2010
dan 2012, namun meningkat pada tahun 2011 dan 2013. Kabar baiknya adalah pada
tahun 2013, peningkatan yang terjadi lebih signifikan bila dibandingkan dengan
penurunan atau peningkatan yang terjadi pada 2009 – 2012.
Grafik 4.7 Kontribusi Sektor Perkebunan terhadap PDRB
di Jawa Timur
Sebagai sektor yang menyerap jumlah terbesar tenaga
kerja, pertumbuhan yang rendah konsisten dan produktivitas tenaga kerja relatif
rendah di sektor pertanian menciptakan perhatian besar bagi provinsi.
Pertumbuhan yang lambat dalam output utama pertanian di Jawa Timur dalam
beberapa dekade terakhir bisa menjadi faktor di balik pertumbuhan yang rendah
di bidang pertanian. Lambat pertumbuhan produksi sendiri disumbangkan oleh
banyak faktor yang antara lain meliputi rasio rendah tanah-tenaga kerja
(terlalu banyak petani untuk sejumlah lahan), kurangnya akses terhadap kredit,
harga rendah, dan biaya produksi yang tinggi. Lambat produksi dengan jumlah
yang tinggi konstan tenaga kerja pertanian dapat menyebabkan rendahnya
produktivitas di sektor ini. Inefisiensi dalam menggunakan faktor produksi
seperti tanah dan tenaga kerja juga bisa bertindak di balik masalah
produktivitas tenaga kerja yang rendah. Bagian ini akan membahas kendala balik
rendahnya pertumbuhan produksi pertanian yang dapat mempengaruhi produktivitas
di sektor ini.
Terbatasnya pasokan lahan untuk pertanian dalam
keluarga Jawa Timur dengan jumlah besar petani mungkin menjadi salah satu
faktor di balik rendahnya produksi di sektor ini. Dengan lahan pertanian yang
sudah berlangsung sekitar 74 persen tanah di Jawa Timur, para petani di
provinsi ini tidak bisa berharap untuk memiliki ekspansi besar di lahan.
Sebagai contoh, meskipun Jawa Timur adalah satu di produsen beras utama di
Indonesia dan berkontribusi 17 persen dari total tanaman padi nasional, total
volume padi yang dihasilkan, dengan pengecualian dari beberapa tahun terakhir,
relatif sangat sederhana. Antara 2001-2008, pertumbuhan tahunan rata-rata
produksi padi telah hanya sekitar 2,3 persen. Dalam tahun-tahun tertentu,
produksi padi bahkan menurun.
Kredit untuk petani penting untuk mendapatkan masukan
produksi yang memadai seperti pupuk dan peralatan teknologi tinggi (traktor,
mesin). Sekitar 43 persen petani di Jawa Timur menunjukkan bahwa masukan
pertanian yang mahal dan modal cukup sebagai hambatan utama mereka dalam
bisnis. Namun, hampir semua petani di Jawa Timur (94,7 persen) tidak pernah
mendapat kredit. Rasio ini mirip dengan yang di provinsi dibandingkan lainnya
seperti Jawa Barat, dan Jawa Tengah. Dari mereka yang memperoleh kredit, hanya
14 persen dari pemberi pinjaman menerima kredit dari bank. Mayoritas (62
persen) menerima kredit dari kreditur perorangan, dan 24 persen lainnya dari
pemberi pinjaman melalui lembaga non-bank. Data dari sensus pertanian
menunjukkan bahwa kurangnya jaminan, proses persetujuan yang rumit dan tingkat
bunga yang tinggi adalah alasan mengapa begitu sedikit petani memperoleh kredit
dari bank.
Tingkat pendidikan petani mempengaruhi produktivitas
pertanian dengan terlebih dahulu meningkatkan adopsi petani teknologi, dan
selanjutnya dengan meningkatkan kemampuan petani untuk memproduksi lebih banyak
output dari sumber daya yang diberikan melalui efisiensi penggunaan
teknologi yang diperkenalkan. Oleh karena itu, pendidikan diharapkan dapat
mempercepat produktivitas pertanian dengan meningkatkan kemampuan produktif
dari semua produsen dengan mengekspos mereka ke sistem produksi yang lebih
sistematis dan dinamis dan dengan meningkatkan kemampuan mereka untuk memilih
tingkat optimal input dan output (Alene dan Manyong, 2007).
Seperti yang ditunjukkan sebelumnya, pencapaian pendidikan yang rendah di Jawa
Timur berarti bahwa mayoritas pekerja pertanian di Jawa Timur terdiri dari
tenaga kerja tidak terampil.
Tabel dibawah ini menjelaskan Kontribusi Sektor Perdagangan
terhadap PDRB di Jawa Timur dalam rentang waktu 2009 hingga 2013. Secara umum
pada rentang waktu tersebut sektor perdagangan mengalami peningkatan yang
stabil, walaupun dengan besaran angka yang belum begitu besar. Peningkatan
konstribusi sektor perdagangan diprediksi mendapatkan pengaruh dari positifnya
pertumbuhan ekonomi Jawa Timur.
Tabel 4.10 Kontribusi Sektor Perdagangan terhadap PDRB
di Jawa Timur
Perdagangan, hotel, restoran adalah sektor dengan
pertumbuhan tercepat di Jawa Timur. Serupa dengan sektor-sektor lain dalam
perekonomian, perdagangan, hotel, dan restoran juga dipengaruhi oleh krisis
ekonomi pada tahun 1997. Sektor ini mampu pulih dengan cepat dan pada tahun
2008, tingkat pertumbuhannya adalah 8,3 persen. Kontribusi sektor ini terhadap
total PDB di Jawa Timur juga telah meningkat dari 24,6 persen pada tahun 2001
menjadi 29,4 persen pada tahun 2008. Kontribusi PDB Jawa Timur pada
perdagangan, hotel, dan restoran terhadap total PDB nasional pada sektor ini
juga yang tertinggi dengan 28,3 persen, dibandingkan Jawa Barat (14,1 persen)
dan Jakarta (19,1 persen), masing-masing, pada tahun 2008. Pertumbuhan yang
tinggi pada sektor ini dihasilkan oleh subsektor perdagangan dan ritel. Sekitar
82 persen dari total output dari Perdagangan, Hotel, dan Restoran adalah dari
perdagangan, dan sub-sektor ritel, diikuti oleh restoran (15 persen) dan hotel
(2 persen).
Tabel. Sumber pertumbuhan ekonomi Jawa Timur 2011-2014
Keterangan
|
Pertumbuhan
|
|||
2011
|
2012
|
2013
|
2014*)
|
|
Konsumsi
Rumahtangga
|
7.16
|
6.15
|
7.38
|
8.35
|
Konsumsi
Lbg Swasta Nirlaba
|
7.79
|
5.74
|
4.15
|
7.94
|
Konsumsi
Pemerintah
|
0.46
|
0.24
|
2.27
|
-5.26
|
Pembentukan
Modal Tetap Bruto
|
9.67
|
5.39
|
6.67
|
6.29
|
Perubahan
Inventori
|
-56.3
|
80.23
|
-41.76
|
-94
|
Tabel dibawah ini menunjukan nilai ekspor di Jawa Timur
dalam rentang waktu 2009 hingga 2013. Secara umum pada rentang waktu tersebut
nilai ekspor mengalami peningkatan cukup besar pada tahun 2010, dan 2011, namun
berbalik turun pada tahun 2012, dan kembali sedikit menurun pada tahun 2013.
Tabel 4.11 Nilai Ekspor Jawa Timur (US $ Miliar)
Tahun
|
Nilai Ekspor
|
|
2009
|
10.79
|
|
2010
|
15.34
|
|
2011
|
19.06
|
|
2012
|
16.25
|
|
2013
|
15.51
|
Pada tahun 2014, selama bulan Januari hingga November,
ekspor Jawa Timur ke sepuluh negara tujuan secara konsisten mengalami peningkatan.
Hal tersebut kemungkinan terjadi karena kondisi perekonomian global yang pada
tahun 2014 mengalami kondisi yang lebih baik. Terlebih lagi Indonesia juga
tengah dalam situasi yang relatif kondusif, kendati tahun 2014 merupakan tahun
pemilihan presiden baru.
Grafik 4.8 Ekspor Jawa Timur ke Sepuluh Negara Tujuan
Utama Januari – November 2013 – 2014 (juta US$)
Pada diagram di bawah ini tampak sektor industri masih
sangat mendominasi ekspor Jawa Timur. Sementara sektor sektor pertanian yang tertinggal
jauh berada di peringkat dua, disusul oleh sektor migas di peringkat tiga, dan
sektor pertambangan menduduki peringkat terakhir. Hal ini dapat menjadi
indikasi bahwa sektor industri di Jawa Timur telah berkembang dengan baik.
Grafik 4.9 Ekspor Jawa Timur Menurut Sektor Jan –
November 2014 (Dalam US$ miliar)
Grafik dibawah ini menunjukan bahwa nilai tukar petani
pada tahun 2014 tampak lebih stabil apabila dibandingkan dengan tahun 2013,
setidaknya selama bulan Januari hingga November. Tampak nilai terendah pada
tahun 2014 menyentuh angka 104,07 , dengan nilai tertinggi menyentuh angka
105,96. Berbeda dengan pada tahun 2013 yang nilai terendahnya menyentuh angka
103,17 , dengan nilai tertinggi mencapai kisaran 106,08.
Grafik 4.10 Nilai tukar petani tahun 2013-2014
Provinsi Jawa Timur
Diagram dibawah ini menjelaskan Kontribusi Sektor
Industri terhadap PDRB di Jawa Timur dalam rentang waktu 2009 hingga 2013.
Secara umum pada rentang waktu tersebut, konstribusi sektor industri memiliki
tren negatif atau menurun. Mengalami penurunan selama dua tahun berturut-turut,
yakni pada tahun 2010 dan 2011, sedikit meningkat pada 2012, namun kembali
turun pada tahun 2013.
Grafik 4.11 Kontribusi Sektor Industri terhadap PDRB
di Jawa Timur
Permintaan lahan kawasan industri terus meningkat
seiring dengan program hilirisasi industri, dan meningkatnya kinerja
perekonomian Indonesia. Dalam rentang waktu lima tahun ke depan, diprediksi
setidaknya perlu ada penambahan kawasan industri hingga 10,000 hektar.
Diprediksi pula pada rentang waktu tersebut, 60 persen permintaan lahan masih
berada di Pulau Jawa. Indonesia kini memiliki 232 kawasan industri, dengan 32
kawasan industri diantaranya berada di Jawa Timur.
Tabel dibawah ini menunjukan luas kawasan industri
yang dikembangkan di Jawa Timur pada tahun 2013. Total luas kawasan tersebut
mencapai 1,867 Hektar. Pengembangan kawasan industri diharapkan mampu
meningkatkan pertumbuhan ekonomi, dan nilai ekspor Jawa Timur.
Tabel 4.12 Kawasan Industri di Jawa Timur
Keterangan
|
Luas
|
|
Kawasan
Industri Gresik (KIG)
|
135
|
|
Maspion
Industrial Estate
|
450
|
|
Ngoro
Industrial Park (NIP) 1
|
230
|
|
Ngoro
Industrial Park (NIP) 2
|
220
|
|
Pasuruan
Industrial Estate Rembang (PIER)
|
500
|
|
Sidoarjo
Industrial Estate Berbek (SIEB)
|
87
|
|
Surabaya Industrial
Estate Rungkut (SIER)
|
245
|
Tabel dibawah ini menunjukan jenis, dan nilai pajak,
serta restribusi daerah provinsi Jawa Timur dari tahun 2009 hingga 2013. Secara
umum pada rentang waktu tersebut, jumlah penerimaan pajak, dan restribusi
mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Peningkatan terjadi pada Pajak
Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, Pajak Bahan Bakar
Kendaraan Bermotor, dan Pajak Air Permukaan. Jenis-jenis pajak yang berkaitan
dengan kendaraan bermotor mengalami peningkatan seiring dengan semakin
sejahteranya masyarakat Indonesia yang menyebabkan jumlah pengguna kendaraan
bermotor pribadi kian meningkat. Terlebih lagi kini harga kendaraan bermotor
kian terjangkau setelah adanya program mobil LCGC.
Tabel 4.13 Jenis dan Nilai Pajak dan Retribusi Daerah
Provinsi Jawa Timur
Jenis Pajak/Restribusi
|
2009
|
2010
|
2011
|
2012
|
2013
|
|
Jenis Pajak
|
4891.82
|
5907.32
|
7298.24
|
7816.59
|
9404.93
|
|
Pajak
Kendaraan Bermotor
|
2068.03
|
2269.94
|
2692.58
|
3287.11
|
3896.19
|
|
Bea Balik
Nama Kendaraan Bermotor
|
1789.32
|
2513.49
|
3366.06
|
3138.04
|
3836.94
|
|
Pajak
Bahan Bakar Kendaraan Bermotor
|
996.92
|
1081.27
|
1217.23
|
1365.52
|
1640.01
|
|
Pajak Air
Permukaan
|
18.65
|
21.42
|
22.37
|
25.91
|
31.79
|
|
Pajak Air
Bawah Tanah
|
18.9
|
21.19
|
–
|
–
|
–
|
|
Jenis Restribusi
|
75.95
|
66.24
|
66.36
|
119.39
|
2.36
|
|
Restibrusi
Jasa Umum
|
22.38
|
12.1
|
7.35
|
60.99
|
–
|
|
Restibrusi
Jasa Usaha
|
34.77
|
37.35
|
43.17
|
57.69
|
2.36
|
|
Restribusi
Perijinan Tertentu
|
18.8
|
16.79
|
15.84
|
0.71
|
–
|
|
Jumlah
|
4967.77
|
5973.56
|
7364.6
|
7935.98
|
9407.29
|
Selanjutnya tingkat kesejahteraan masyarakat dapat
diukur dari tingkat pendapatan perkapita, dan indeks ketimpangan wilayah yang
diukur dari gini ratio. Berdasarkan data PDRB perkapita Jawa Timur tahun
2009-2013, PDRB perkapita masyarakat Jawa Timur meningkat dari 18 juta menjadi
29 juta per tahun, atau meningkat 61 persen selama 5 tahun. Namun kenaikan
pendapatan perkapita wilayah Jawa Timur tentu harus diimbangi dengan pemerataan
dalam ekonomi agar tidak terjadi kesenjangan antara yang berpendapatan tinggi
dan yang berpendapatan rendah. Berdasarkan perhitungan gini ratio selama
5 tahun dapat dijelaskan bahwa ketimpangan di Jawa Timur memiliki tren yang meningkat
sejak 2009 hingga 2013, meski secara rata-rata nilainya masih lebih rendah jika
dibandingkan dengan perhitungan gini ratio di tingkat nasional.
Tabel 4.14 Data PDRB perkapita Jawa Timur 2009-2013
Tahun
|
PDRB perkapita (Dalam ribuan)
|
2009
|
18,399
|
2010
|
20,725
|
2011
|
23,374
|
2012
|
26,274
|
2013
|
29,620
|
Grafik 4.12 Indeks Ketimpangan Wilayah (Indeks
Williamson)
Grafik 4.13 Indeks Ketimpangan Wilayah (Gini Ratio)
Grafik dibawah ini menjelaskan tentang indeks
pembangunan manusia (IPM) di Jawa Timur berdasarkan data 5 tahun terakhir, dari
2009 hingga 2013. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) adalah pengukuran
perbandingan dari harapan hidup, melek huruf, pendidikan, dan standar hidup untuk semua negara seluruh dunia.
IPM digunakan untuk mengklasifikasikan apakah sebuah negara adalah negara maju, negara berkembang atau negara terbelakang dan juga untuk mengukur pengaruh
dari kebijaksanaan ekonomi terhadap kualitas hidup.
Secara umum, Jawa Timur mengalami tren yang meningkat
dalam pengembangan kualitas pembangunan manusia. Namun, jika dilihat dari data
statistik IPM, masih ditemukan beberapa wilayah yang memiliki IPM dibawah
rata-rata sebesar 25 persen dibawah angka IPM Jawa Timur. Sebagai contoh, angka
IPM terendah di tahun 2009 mencapai 58.68. Nilai ini meningkat secara perlahan
5.7 persen hingga 2013 mencapai 62.39, yang menjelaskan bahwa terjadi
peningkatan baseline IPM terendah di Jawa Timur. Namun jika dibandingkan
dengan data nasional, IPM Jawa Timur masih sedikit lebih rendah dibandingkan
dengan IPM Nasional.
Grafik 4.14 Indeks Pembangunan Manusia di Jawa Timur
Tabel 4.15 Indeks Pembangunan Manusia di Jawa Timur
Tahun
|
IPM
|
Angka IPM Tertinggi
|
Angka IPM Terendah
|
2009
|
71.06
|
76.98
|
58.68
|
2010
|
71.62
|
77.42
|
59.7
|
2011
|
72.18
|
77.89
|
60.78
|
2012
|
72.54
|
78.43
|
61.67
|
2013
|
73.54
|
78.97
|
62.39
|
Tabel dibawah ini menjelaskan tentang garis
kemiskinan, jumlah penduduk miskin, persentase penduduk miskin dan perubahan
persentase penduduk miskin di Jawa Timur dalam 7 tahun terakhir, sejak 2008
hingga 2014. Dalam perhitungan Biro Pusat Statistik (BPS), garis kemiskinan
yang diukur dalam Rupiah/perkapita/bulan mengalami peningkatan sejak 2008, dari
Rp 169.112/Kapita/Bulan menjadi Rp 282.796/Kapita/Bulan. Secara absolut dapat
dijelaskan bahwa jumlah penduduk miskin mengalami penurunan baik di perkotaan
maupun di pedesaan, dari 7 juta di tahun 2008 menjadi 4.7 juta di tahun 2014.
Selanjutnya, persentase penduduk miskin di Jawa Timur juga mengalami penurunan
baik di pedesaan maupun perkotaan dari 18.51 persen menjadi 12.42 persen dalam
rentang waktu 7 tahun terakhir. Persentase penduduk miskin masih didominasi di
wilayah pedesaan dengan rata-rata diatas 16 persen, jauh dari data statistik
kemiskinan di perkotaan yang menurun hingga dibawah 10 persen.
Tabel 4.16 Garis kemiskinan, jumlah penduduk miskin
dan persentase penduduk miskin
Daerah / Tahun
|
Garis Kemiskinan (Rp/Kapita/Bulan)
|
Jumlah Penduduk Miskin (Ribu)
|
Persentase Penduduk Miskin
|
Perubahan Persentase Penduduk Miskin
|
||
Makanan
|
Bukan Makanan
|
Total
|
||||
(1)
|
(2)
|
(3)
|
(4)
|
(5)
|
(6)
|
(7)
|
Perkotaan
|
||||||
Maret 2008
|
131.487
|
51.921
|
183.408
|
2.438,76
|
13,15%
|
|
Maret 2009
|
145.676
|
56.948
|
202.624
|
2.148,51
|
12,17%
|
-0,98%
|
Maret 2010
|
152.965
|
60.418
|
213.383
|
1.873,55
|
10,58%
|
-1,59%
|
Maret 2011
|
169.242
|
65.303
|
234.545
|
1.768,23
|
9,87%
|
-0,71%
|
Sept 2011
|
174.210
|
68.193
|
242.403
|
1.734,31
|
9,66%
|
-0,21%
|
Maret 2012
|
175.806
|
69.499
|
245.305
|
1.630,63
|
9,06%
|
-0,60%
|
Sept 2012
|
182.073
|
71.874
|
253.947
|
1.605,96
|
8,90%
|
-0,16%
|
Maret 2013
|
187.350
|
77.853
|
265.203
|
1.550,46
|
8,57%
|
-0,33%
|
Sept 2013
|
200.620
|
78.033
|
278.653
|
1.622,03
|
8,90%
|
0,33%
|
Maret 2014
|
206.858
|
80.723
|
287.581
|
1.535,81
|
8,35%
|
-0,55%
|
Pedesaan
|
||||||
Maret 2008
|
118.971
|
36.461
|
155.432
|
4.581,19
|
23,64%
|
|
Maret 2009
|
131.522
|
43.106
|
174.628
|
3.874,07
|
21,00%
|
-2,64%
|
Maret 2010
|
139.806
|
46.073
|
185.879
|
3.655,76
|
19,74%
|
-1,26%
|
Maret 2011
|
155.457
|
50.818
|
206.275
|
3.587,98
|
18,19%
|
-1,55%
|
Sept 2011
|
161.141
|
53.025
|
214.166
|
3.493,00
|
17,66%
|
-0,53%
|
Maret 2012
|
167.352
|
54.864
|
222.216
|
3.440,34
|
17,35%
|
-0,31%
|
Sept 2012
|
176.674
|
57.882
|
234.556
|
3.354,58
|
16,88%
|
-0,47%
|
Maret 2013
|
189.172
|
61.358
|
250.530
|
3.220,80
|
16,15%
|
-0,73%
|
Sept 2013
|
202.651
|
66.643
|
269.294
|
3.243,79
|
16,23%
|
0,08%
|
Maret 2014
|
209.263
|
69.166
|
278.429
|
3.250,98
|
16,13%
|
-0,10%
|
Sumber: BPS dan Bank Indonesia
Tabel dibawah ini menjelaskan tentang indeks kedalaman
kemiskinan (poverty gap index) dan indeks keparahan kemiskinan (poverty
soverity index) di perkotaan dan pedesaan di Jawa Timur dari 2008 hingga
2014. Dua indikator kemiskinan tersebut mengalami penurunan sejak 2008, yang
mengindikasikan semakin membaiknya kesejahteraan masyarakat di Jawa Timur. Hal
ini dapat dijelaskan dari indeks kedalaman kemiskinan yang menurun dari 3.38
menjadi 1.85, dari 2008 hingga 2013.
Tabel 4.17 Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) di Jawa
Timur
Tahun
|
Kota
|
Desa
|
Kota+Desa
|
Maret 2008
|
2,34
|
4,38
|
3,38
|
Maret 2009
|
2,18
|
3,54
|
2,88
|
Maret 2010
|
1,53
|
3,18
|
2,38
|
Maret 2011
|
1,51
|
2,96
|
2,27
|
Sept 2011
|
1,25
|
2,67
|
2,00
|
Maret 2012
|
1,25
|
2,32
|
1,81
|
Sept 2012
|
1,29
|
2,52
|
1,93
|
Maret 2013
|
1,31
|
2,32
|
1,84
|
Sept 2013
|
1,42
|
2,66
|
2,07
|
Maret 2014
|
1,16
|
2,48
|
1,85
|
Sumber: BPS dan Bank Indonesia
Tabel 4.18 Indeks Kedalaman Kemiskinan (P2) di Jawa
Timur
Tahun
|
Kota
|
Desa
|
Kota+Desa
|
Maret 2008
|
0,61
|
1,23
|
0,93
|
Maret 2009
|
0,60
|
0,91
|
0,76
|
Maret 2010
|
0,37
|
0,79
|
0,59
|
Maret 2011
|
0,35
|
0,72
|
0,54
|
Sept 2011
|
0,28
|
0,63
|
0,46
|
Maret 2012
|
0,27
|
0,48
|
0,38
|
Sept 2012
|
0,30
|
0,57
|
0,44
|
Maret 2013
|
0,33
|
0,52
|
0,43
|
Sept 2013
|
0,34
|
0,66
|
0,50
|
Maret 2014
|
0,27
|
0,59
|
0,44
|
Nama Kelompok :
-Aldi Rivaldi
-Lia Astuti
-Venny Arifani
Sumber:
BPS dan Bank
Indonesia
http://www.diassatria.com/artikel-ekonomi-jawa-timur/
No comments:
Post a Comment